Diangkat Menjadi Mufti Besar Kesultanan Aceh Darussalam

Pada saat masa pengembaraannya itu, Sultanah Safiatuddin beberapa kali mengirim utusan untuk menjemputnya, ia berencana mengangkatnya sebagai mufti besar Kesultanan Aceh Darussalam atau Qadhi Malikul Adil.

Beberapa literatur menyebut, saat itu jabatan Qadhi Malikul Adil sedang kosong setelah ditinggalkan Syekh Nuruddin Ar-raniri yang kembali ke Gujarat, India pada tahun 1658 masehi setelah kalah berdebat secara politik dengan Saifurrijal tentang paham wujudiyah yang menurut Ar-raniri adalah paham sesat yang dibawa oleh Hamzah Al Fansuri.

Sumber lain mengatakan, antara 1658-1964, mufti besar Kesultanan Aceh Darussalam diisi oleh Saifurrijal sendiri. Saifurrijal sendiri merupakan murid dari Hamzah Al Fansuri, paman dari Teungku Syiah Kuala.

Namun yang pasti, sejarah mencatat pada tahun 1665 Teungku Syiah Kuala resmi menjabat sebagai sebagai Qadhi Malikul Adil atau mufti besar Kesultanan Aceh Darussalam atas permintaan Sultanah Safiatuddin.

Berhasil Meredam Permasalahan yang Muncul di Kesultanan Aceh Darussalam

Pada masa jabatannya sebagai Qadhi Malikul Adil saat, Teungku Syiah Kuala pada saat itu disebut berhasil meredam permasalahan-permasalahan yang muncul di Kesultanan Aceh Darussalam.

Salah satunya adalah pada saat ia berhasil mematahkan argumen dari para pembesar kerajaan yang hendak menumbangkan Sultanah Safiatuddin.

Sebagai pemimpin perempuan pertama pada saat itu, banyak muncul pergolakan internal di Kesultanan Aceh Darussalam yang ditandai dengan munculnya fatwa yang menafikkan kepemimpinan dari para perempuan. Namun saat itu, Syiah Kuala berhasil meredam pergolakan tersebut untuk melanggengkan kekuasaan sang Sultanah.

Kemudian pada saat Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah berkuasa, ada pihak yang ingin menduduki tampuk kepemimpinan dengan mengangkat kembali isu wujudiyah sebagai aliran tidak benar. Akibat dari konflik itu mengakibatkan Masjid Baiturrahman dan Istana Darud Donya sempat terbakar saat itu.

Namun, Teungku Syiah Kuala sebagai mufti besar kemudian berhasil meredam gejolak tersebut.

Gejolak-gejolah yang muncul tersebut adalah upaya untuk menumbangkan kepempinan Sultanah-sultanah yang sedang berkuasa saat itu. Teungku Syiah Kuala yang melihat lemahnya hukum yang sedang berlaku saat itu, sehingga dengan mudah memancing gejolak-gejolak yang bisa mengacaukan internal Kesultanan Aceh Darussalam.

Ia kemudian mengambil tindakan agar peristiwa ini tidak berulang dengan melakukan perombakan sistem kerajaan dengan mengajukan sebuah konsepsi tentang tata kerajaan Kesultanan Aceh Darussalam. 

Baca Juga : Sultan Malikussaleh, Pendiri Kerajaan Samudera Pasai

Konsep tersebut salah satunya berisi tentang pembagian wilayah di Aceh Besar menjadi 3 bagian di bawah Kesultanan Aceh Darussalam. Masing-masing wilayah ini dipimpin oleh masing-masing pemimpin kecil dibawah Sultan/Sultanah yang sedang berkuasa. Pembagian wilayah ini yang kemudian disebut dengan Aceh Lhee Sagoe.

Kemudian konsepsi tersebut menyatakan penobatan Sultan/Sultanah dilakukan secara khusus hanya bisa dilakukan oleh pemangku jabatan Qadhi Malikul Adil bersama Aceh Lhee Sagoe tersebut.

Pada saat masa ia mengemban amanah sebagai mufti besar Kesultanan Aceh Darussalam, saat itu ia juga mengarang karya besar berjudul Mir’at Al-Thulab. Kitab yang bermuatan fiqh ini kemudian menjadi dasar hukum dan pedoman bagi para hakim di seluruh wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dalam mengekkan hukum.

Karena itu ada pepatah yang muncul di masyarakat Aceh yang berbunyi “Adat bak Poe teumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala”, artinya kebijakan masalah Adat ada pada tangan Sultan/Sultanah dan hukum berada pada tangan Teungku Syiah Kuala.

Akhir Perjalanan Teungku Syiah Kuala

Menurut riwayat, ia menjabat sebagai mufti besar selama empat periode pergantian Sultanah di Kesultanan Aceh Darussalam, yaitu Sri Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675), Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688) dan Sri Sultanah Keumalatuddin Syah (1688-1699).

Teungku Syiah Kuala kemudian wafat pada tahun 1693 saat berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh. Namanya saat ini diabadikan sebagai nama salah satu perguruan tinggi paling tua di Aceh, Universitas Syiah Kuala.