Teungku Syiah Kuala adalah salah satu cendikiawan yang jasa-jasanya sangat berpengaruh bagi Aceh Darussalam maupun dunia. Ia hidup di salah satu periode paling gemilang dari kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam, periode dimana banyak peradaban lahir dan tumbuh di wilayah tersebut.

Biografi Teungku Syiah Kuala

Teungku Syiah Kuala lahir di Singkil, Aceh pada tahun 1615 Masehi. Nama aslinya Abdul Rauf As-Singkili, lebih lengkapnya Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili, tapi masyarakat Aceh lebih mengenalnya dengan nama Teungku Syiah Kuala.

Ia adalah cucu dari  seorang ulama pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah, yaitu Syekh Al Fansuri. Syekh Al Fansuri memiliki dua putra, yaitu Ali Al Fansuri dan Hamzah Al Fansuri. Keduanya adalah cendikiawan Islam pada masanya. 

Syekh Ali Fansuri dikaruniai seorang putra, anaknya ini yang sekarang kita kenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Dalam kata lain, Teungku Syiah Kuala adalah keponakan dari Hamzah Al Fansuri. Sepertinya yang kita tau, Hamzah Al Fansuri sendiri adalah cendekiawan, penyair dan ulama yang termasyhur yang karya-karya dikenal oleh masyarakat dunia, khususnya bagi masyarakat di Semenanjung Melayu.

Teungku Syiah Kuala diyakini memiliki keturunan dari Persia, melalui ayahnya (Ali Al Fansuri) dan kakeknya (Syekh Al Fansuri) yang diyakini sebagai keturunan dari pendatang Persia yang datang ke Aceh pada masa Kesultanan Samudera Pasai. 

Sementara itu, ibundanya berasal dari Barus sebuah kota kecil yang kini secara administratif berada di wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, di pantai barat yang berbatasan langsung dengan Singkil, Aceh, yang saat itu merupakan wilayah dari Kesultanan Aceh Darussalam.

Perjalanan Intelektual Teungku Syiah Kuala

Lahir dari keluarga cendikiawan, Teungku Syiah Kuala sudah belajar mengenai Islam dari keluarganya sejak kecil.  Pada awal masa muda, ia disebut sudah belajar dari ayahnya sendiri, Ali Al Fansuri. Ia kemudian juga disebutkan sempat belajar pada pamannya, Hamzah Al Fansuri di Aceh Darussalam.

Namun itu hanya awal dari perjalanan panjang intelektualnya, ia mengunjungi banyak negara pusat peradaban Islam untuk belajar Islam dari cendikiawan-cendikiawan Islam dunia.

Baca Juga : Safiatuddin, Ratu Pembawa Ilmu Pengetahuan Aceh Darussalam

Pada tahun 1642, Teungku Syiah Kuala berangkat ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji sekaligus meneruskan pengembaraan intelektualnya. Usai menunaikan ibahdanya saat, dia menetap di Mekkah untuk berguru pada Badruddin al-Lahuri, Abdullah al-Lahuri, dan Ali bin Abdul Qadir ath-Thabari.

Selepas dari Mekkah ia juga belajar ke Madinah untuk menimba ilmu dari Ibrahim al-Kurani dan Ahmad al-Qusyasyi. Nama terakhir adalah salah satu guru paling berpengaruh bagi Teungku Syiah Kuala, ia memperoleh gelar khalifah tarekat Syattariyah dan Qadiriyah darinya.

Sebutan itu adalah tanda ia telah menyelesaikan pelajarannya, yang kemudian membuatnya menjadi guru yang membimbing banyak murid dari berbagai bangsa disitu.

Selain itu, ia juga disebut pernah menuntut ilmunya di Dhuha, sebuah kota pesisir di Teluk Persia. Disana ia bertemu dengan gurunya Abdul Qadir al-Mawrir.  Ia juga diriwayatkan pernah pergi ke Yaman untuk menimba ilmu di dua lembaga pendidikan terpenting saat itu, Bait al-Faqih dan Zabid.

Kembali ke Aceh dan Membuka Lembaga Pendidikan

Setelah melakukan perjalanan intelektual yang panjang sekitar 19 tahun, Teungku Syiah Kuala kembali ke Aceh Darussalam, disebutkan ia kembali pada tahun 1662. Saat itu Kesultanan Aceh Darussalam sedang dipimpin Sultanan Safiatuddin Syah yang berkuasa sejak tahun 1641 setelah suaminya Sultan Iskandar Tsani dinyatakan wafat.

Teungku Syiah Kuala kemudian membuka sebuah lembaga pendidikan agama di sebelah daratan pantai Kuala Aceh yang diberi nama Dayah Meunara, lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi saat itu. Ia mengajarkan ilmu Islam kepada masyarakat di daerah tersebut dan sekitar.

Ada cerita menarik tentang Teungku Syiah Kuala dan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa awal kepulangannya ke Aceh Darussalam. Pada tahun 1665 ia diundang untuk menyampaikan dakwah pada perayaan maulid Nabi Muhammad SAW di istana Darud Donya, istana Kesultanan Aceh Darussalam. 

Ia datang dengan menyembunyikan identitasnya untuk menghindari campur tangan terhadap selisih paham pemikiran antara pengikut Syekh Hamzah Al Fansuri dan Syekh Nuruddin Ar-raniri yang saat itu masih hangat diperbincangkan dan masing-masing masih membela diri.

Namun karena kefasihannya dalam menyampaikan dakwah pada saat itu, Ratu Safiatuddin yang mendengarnya curiga. Ratu Safiatuddin tidak percaya ada seorang masyarakat biasa yang bisa menyampaikan ilmu sefasih yang dilakukan Teungku Syiah Kuala saat itu.

Baca Juga : Iskandar Muda, Pembawa Aceh Darussalam pada Masa Keemasan

Ia kemudian dipanggil ke istana Darud Donya untuk bertemu dengan pihak Kesultanan Aceh Darussalam dan di sana ia akhirnya mengakui siapa dirinya sebenarnya, seorang cendikiawan yang telah menuntut ilmu ke banyak guru terkemuka di dunia islam, dan merupakan keluarga dari cendikiawan Islam terkemuka sebelumnya, Hamzah Fansuri.

Setelah pihak kesultanan mengetahui siapa dirinya sebenarnya, ia meminta izin untuk pulang ke kampung halamannya untuk berziarah ke makam orangtuanya dan pamannya di Aceh Singkil, kemudian melanjutkan pengembaraannya ke berbagai wilayah di Sumatera selama 3 tahun.