Perjalanan Teungku Chik di Tiro Mengusir Belanda dari Aceh Darussalam
Perjalanan Teungku Chik di Tiro sebagai pemimpin perang dimulai dengan menelusuri Aceh. Setiap berhenti di satu kota, ia akan menyampaikan ceramah mengenai Perang Sabil, perang suci yang sedang ia dan pasukannya lakukan. Ia juga menyadarkan orang-orang untuk terus berjuang melawan penjajahan.
Tak hanya itu, Teungku Chik di Tiro juga mengirim surat kepada para uleebalang dan keuchik. Tujuannya jelas, ia ingin agar mereka ikut berjuang dengan terjun langsung mengusir pasukan Belanda dari tanah Aceh. Alhasil, terkumpul lah 6.000-an tentara yang didukung langsung oleh Sultan Aceh.
Gerakan Perang Sabil yang dipimpin Teungku Chik di Tiro mulai membuahkan hasil. Tercatat pada tahun 1881, Teungku Chik di Tiro berhasil merebut beberapa benteng Belanda yang ada di daerah Indrapuri, Krueng Jreu, dan Gle Kameng. Wilayah-wilayah yang sebelumnya diduduki Belanda pun akhirnya berhasil direbut kembali. Keberhasilan ini jelas memicu kemarahan Belanda.
Belanda memperkuat benteng pertahanannya yang ada di Lambaro, Aneuk Galong dan Samahani. Aceh Darussalam pun terus memberikan serangan, yang tentu dibalas langsung oleh Belanda.
Seiring berjalannya waktu dengan berbagai serangan yang terus dilancarkan, Belanda mulai kehilangan daerah kekuasaannya. Yang mulanya menguasai hampir seluruh Aceh Darussalam, kini Belanda hanya memiliki wilayah sekitar 4 kilometer persegi.
Merasa pertahanan Belanda semakin melemah, Teungku Chik di Tiro mengirimkan ultimatum kepada Asisten Residen van Langen di tahun 1885. Ia menawarkan adanya perdamaian jika Belanda bersedia untuk masuk Islam. Saat itu, beberapa orang Belanda menyatakan bersedia mengikuti tawaran Teungku Chik di Tiro. Mungkin terdengar kabar baik, namun ternyata itu semua hanyalah tipuan. Orang-orang Belanda tersebut rupanya mata-mata yang sengaja dikirim.
Teungku Chik di Tiro merasa kesal, namun ia tak menyerah. Tahun 1888, ia kembali mengirimkan surat ke Belanda. Namun kali ini, usahanya tak mendapatkan tanggapan sama sekali. Meskipun perjalanannya tak mudah, ia masih terus memimpin pasukannya untuk memukul mundur Belanda. Baginya, tak akan ada kata menyerah sebelum pasukan Belanda lenyap dari Aceh Darussalam.
Wafat Diracun Karena Politik Adu Domba Belanda
Melihat kegigihan Teungku Chik di Tiro yang terus menggalakkan Perang Sabil, pasukan Belanda merasa resah. Mereka mulai merencanakan suatu siasat untuk melenyapkannya dari tanah Aceh Darussalam. Belanda kemudian melakukan siasat adu domba dengan memanfaatkan seorang bangsawan yang berambisi untuk menjadi panglima sagi.
Diperintahkannya bangsawan tersebut untuk membunuh Teungku Chik di Tiro dengan cara mengundangnya ke Tui Seilemeung dan memberinya makanan beracun. Teungku Chik di Tiro yang tak punya rasa ragu ataupun curiga, memakan makanan tersebut. Ia kemudian jatuh sakit dan segera dibawa ke Benteng Aneuk Galong. Namun sayang, nyawanya tak lagi tertolong. Pada 25 Januari 1891, ia pun dinyatakan meninggal dunia.
Baca Juga : Nuruddin Ar-raniry, Pembaharu Islam Aceh Darussalam
Meninggalnya Teungku Chik di Tiro bukan berarti perjuangan Perang Sabil berakhir. Anak-anaknya terus melanjutkan perjuangannya sebagai Wali Nanggroe.
Jasa Teungku Chik di Tiro dalam memperjuangkan Aceh Darussalam dari penjajahan oleh Belanda sungguh amatlah besar. Berkat jasanya, 6 November 1973 lalu ia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia melalui Surat Keppres No. 087/TK/1973.