Kedekatan masyarakat Aceh dengan syariat Islam dapat dilihat dari seni dan budaya yang ada di Aceh, salah satunya adalah tari seudati.
Asal-usul dan Perkembangan Tari Seudati di Aceh
Kata seudati sendiri berasal dari kata syahadat, yang merupakan pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Meskipun begitu, ada pendapat lain yang mengatakan kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti kompak atau harmonis, karena melihat gerakan yang diperagakan dalam tarian ini dilakukan dengan bersama-sama dengan harmonis.
Tari seudati biasanya dibawakan oleh penari laki-laki yang berjumlah delapan orang atau lebih yang memiliki peran masing-masing.
Peran dari masing-masing penari yaitu dari penari utama, syekh, satu orang pembantu syekh, dua orang pembantu sebelah kiri (apeetwie), satu orang pembantu belakang (peet bak) dan tiga orang pembantu biasa.
Selain itu, ada dua orang penyanyi pengiring yang disebut aneuk syahi.
Pada tari ini, penari tidak hanya menari bergerak sesuai arahan tetapi juga menyampaikan pesan-pesan moral yang terkandung dalam tarian ini kepada penonton.
Tari seudati tidak menggunakan alat musik. Pengiring gerakan tari ini yaitu melalui syair yang dinyanyikan pada saat pertunjukan berlangsung yang langsung dinyanyikan oleh aneuk syahi.
Tari seudati biasanya ditampilkan pada saat acara adat, kebudayaan dan perayaan agama. Selain itu, tari seudati juga tak jarang dilakukannya perlombaan sehingga membuat masyarakat menjadi antusias dan tarian ini tetap dilestarikan.
Tari seudati dianggap bentuk baru dari tari ratih atau ratoh. Tari ratoh biasanya dipentaskan pada saat mengawali acara lomba sabung ayam.
Selain itu juga, tarian ini juga dipentaskan ketika menyambut panen dan datangnya bulan purnama.
Kemudian setelah agama Islam masuk dan menyebar luas di Aceh, maka terjadilah akulturasi budaya dengan agama.
Demikian juga pada tari tersebut yang terjadi akulturasi dengan Agama Islam sehingga terbentuklah tari seudati.
Tarian ini berkembang di daerah pesisir. Tari seudati awalnya berasa daril Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Kemudian tari seudati ini semakin populer dan menyebar ke seluruh wilayah Aceh, mulai dari Aceh Besar, Bireuen, Aceh Utara sampai seluruh wilayah Aceh.
Digunakan Sebagai Media Pembangkit Semangat Perjuangan dan Dakwah
Selain untuk menghibur masyarakat sekitar, tarian ini juga memiliki makna perjuangan, hal ini terlihat dari syair-syair atau lirik lagu yang digunakan sebagai pengiring tari ini.
Syair-syair dalam lagu tari seudati mampu membangkitkan semangat para pejuang pada perang Aceh untuk menginspirasikan aksi pemberontakan terhadap penjajahan Belanda.
Karena hal tersebut, pada saat masa penjajahan oleh kolonial Belanda, tari seudati dilarang untuk ditampilkan. Hingga sampai setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tari ini mulai diperbolehkan untuk dipertunjukkan kembali di muka umum.
Selain mengandung makna perjuangan, syair-syair yang digunakan untuk mengiring tari seudati juga mengandung nilai-nilai keislaman yang kental.
Karenanya tari ini juga digunakan sebagai media dakwah dan penyebaran serta agama Islam. Sehingga ketika tari ini ditampilkan, masyarakat bukan hanya terhibur oleh gerakan tarian tersebut, namun juga akan mendapatkan pelajaran tentang keislaman.
Sampai sekarang, tari seudati tetap dilestarikan dan mengalami banyak perkembangan dan banyak dipelajari oleh generasi muda.
Maka dari itu, munculah beberapa kreatifitas generasi muda yaitu memvariasikan gerakan dalam tarian seudati. Sehingga pada saat pementasan dilakukan terdapat gerakan baru dan juga menarik pada tari seudati.
Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan tari seudati sebagai warisan budaya tak benda Indonesia dari Aceh.