Sultan Iskandar Tsani atau yang juga disebut dengan nama Raja Bungsu sebelum diangkat menjadi Sultan, adalah putra dari Sultan Ahmad dari Kesultanan Pahang yang diangkat menjadi anak angkat oleh Sultan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Tsani dibawa oleh Sultan Iskandar Muda ke Aceh Darussalam setelah misi menyerang pasukan Portugis yang saat itu sedang berada Perak, dalam upaya mengusir kekuasaan Portugis terhadap kerajaan-kerajaan di tanah Melayu.
Ia lahir pada tahun 1611 masehi, saat dibawa ke Aceh Darussalam, usia Sultan Iskandar Tsani saat itu masih 7 tahun. Ia kemudian dititipkan kepada Tuan Kemala Setia, salah satu pejabat tinggi Istana, untuk mengasuh dan mendidiknya.
Iskandar Tsani kemudian besar dan tumbuh di lingkungan istana Kesultanan Aceh Darussalam. Ia tinggal di lingkungan istana bersama beberapa putera dan puteri lain yang tinggal di lingkungan Istana.
Sama dengan putra-putri lain, ia memiliki kemewahan untuk belajar dari berbagai ulama-ulama dan cendikiawan-cendikiawan besar Aceh Darussalam saat itu.
Ia belajar fiqih pada Syekh Nuruddin Ar-Raniry, kemudian belajar tasawuf pada Syekh Syamsuddin Sumatrani dan sastra pada Syekh Hamzah Fansuri, serta berbagai ilmu lainnya pada ulama-ulama lainnya yang ada di Aceh Darussalam saat itu.
Dekat dan Menikah Dengan Putri dari Sultan Iskandar Muda
Diantara putra dan putri istana yang turut belajar bersama Iskandar Sani saat itu adalah Putri Safiah yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ratu Safiatuddin.
Keduanya tidak terpaut umur terlalu jauh, Sultan Iskandar Tsani hanya lebih tua satu tahun dari Ratu Safiatuddin.
Sebagai sesama putra-putri yang tumbuh di lingkungan istana dan banyak menghabiskan waktu bersama untuk belajar, Sultan Iskandar Tsani dekat dengan Ratu Safiatuddin.
Awalnya hubungan keduanya hanya hubungan teman biasa antara sesama pelajar. Namun perlahan hubungan itu berubah menjadi hubungan yang lebih spesial.
Ali Hasjmy dalam bukunya yang berjudul 59 Tahun Aceh Merdeka dibawah Kepemimpinan Ratu menyebutkan hubungan keduanya berubah menjadi seperti hubungan antara Yusuf dan Zulaikha.
Menurut Ali Hasjmy hubungan cinta yang mulai tumbuh dalam hati kedua remaja Istana itu cepat sekali berkembang berkat suasana istana pada saat itu, keheningan Krueng Daroy yang mengalir di tengah-tengah istana dan rindangnya pohon-pohon yang di dalam istana.
Sultan Iskandar Muda juga menyukai Sultan Iskandar Tsani karena kesopanan dan kebaikannya. Ia kemudian memutuskan untuk menikahkan putrinya, Ratu Safiatuddin, dengan anak angkatnya tersebut.
Sultan Iskandar Tsani dan Ratu Safiatuddin dinikahkan dalam satu upacara agung yang cukup megah.
Dalam bukunya Bustanus Salatin, Syekh Nuruddin Ar-raniry menceritakannya panjang lebar mengenai acara pernikahan antara Sultan Iskandar Tsani dan Ratu Safiatuddin yang dilangsungkan di istana Darud Donya saat itu.
Setelah Sultan Iskandar Muda memberitahukan niatnya kepada para pembesar kerajaan, maka diadakanlah persiapan selama 14 hari untuk menggelar pesta pernikahan tersebut.
Pesta perkawinan agung itu dilakukan selama empat puluh hari di seluruh daerah dari Kesultanan Aceh Darussalam, seperti yang diperintahkan oleh Sultan Iskandar Muda kepada para pembesar istana saat itu.
Setelah selesai upacara nikah, maka Sultan Iskandar Muda memberi gelar kepada menantunya itu dengan Sultan Husain Syah.
Wafatnya Sultan Iskandar Muda dan Hukuman Mati Putra Mahkkota
Selain Ratu Safiatuddin, Sultan Iskandar Muda dan Ratu Kamaliah juga memiliki seorang anak yang lain, ia bernama Meurah Pupok.
Meurah Pupok adalah satu-satunya putra dari Sultan Iskandar Muda dan merupakan putra mahkota yang kelak akan menggantikan Sultan Iskandar Muda jika ia wafat.
Namun sayang, kejadian tragedi yang buruk terjadi kepada Meurah Pupok. Ia tertangkap berbuat salah dengan memiliki hubungan terlarang dengan istri dari seorang perwira muda dari angkatan perang Aceh.
Karena kesalahannya itu, Sultan Iskandar Muda kemudian membuat keputusan untuk melaksanakan hukum rajam kepada anaknya tersebut di depan umum.
Setelah melakukan pelaksanaan hukum bunuh terhadap putranya tersebut, tidak lama kemudian ia jatuh sakit yang hari demi hari semakin parah.
Setelah lebih sebulan jatuh sakit, maka pada hari sabtu tanggal 27 Desember 1636 masehi, Sultan Iskandar Muda dinyatakan wafat.
Sultan Iskandar Tsani Diangkat Menjadi Sultan Aceh Darusalam
Setelah Iskandar Muda melakukan hukum rajam terhadap putranya yang awalnya diproyeksikan untuk menggantikan dirinya sebagai Sultan Aceh Darussalam, maka tidak ada lagi putra kandungnya yang akan menggantikannya.
Karena itu, sebelum Sultan Iskandar Muda wafat, ia telah meriwayatkan menantunya, Sultan Iskandar Tsani, sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya nanti, penetapannya itu telah mendapat persetujuan dari Qadhi Malikul Adil.
Sehingga ketika Sultan Iskandar Muda wafat, Sultan Iskandar Tsani dinobatkan sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Alaidin Mughayat Syah Iskandar Tsani
Ia dinobatkan menjadi Sultan dalam usia yang masih sangat muda, yaitu saat usia 25 tahun.
Namun sayang, ia hanya memerintah selama 5 tahun, karena pada tahun 1641 masehi, ia wafat pada usia 30 tahun tanpa meninggalkan ahli waris yang menggantikannya.
Selepas ia wafat, Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin oleh istrinya sendiri, Ratu Safiatuddin, ia diangkat menjadi ratu dengan gelar Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin.
Karena kecintaanya terhadap Sultan Iskandar Tsani, hal pertama yang dilakukan oleh Ratu Safiatuddin adalah membuat kandang (makam) bagi suaminya dengan sangat megah, lebih megah dari kandang-kandang yang telah ada sebelumnya di istana Kesultanan Aceh Darussalam.
Syekh Nuruddin Ar-Raniry, dalam bukunya Bustanus Salattin, melukiskan upacara pemakaman Sultan Iskandar Tsani itu dilakukan dengan sangat megah, sebagai tanda kehilangan yang besar bagi Kesultanan Aceh Darussalam, sekaligus kehilangan yang tidak kalah besar bagi sang istri, Ratu Safiatuddin.