Ratu Safiatuddin menjadi pemimpin perempuan pertama dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam sejak kesultanan ini pertama kali berdiri.
Meskipun pada saat pengkatannya menjadi Ratu diragukan oleh banyak pihak saat itu, Ratu Safiatuddin berhasil menjawab keraguan-keraguan yang muncul.
Hal ini terbukti dengan banyaknya kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama dan cendikiawan-cendikiawan Islam di Aceh Darussalam pada saat ia berkuasa, hingga dibiayai oleh istana, baik atas permintaan istana atau karena inisiatif intelektual tersebut sendiri.
Kepemimpinannya diakui oleh banyak tokoh dan sejarawan menjadi sebagai era paling ranum ilmu pengetahuan di Aceh Darussalam.
Hal ini bukan karena tanpa sebab, karena Ratu Safiatuddin sendiri adalah orang yang pintar, menguasai banyak ilmu dan mencintai ilmu pengetahuan.
Selain ilmu pengetahun yang tumbuh pesat pada masa ia memimpin, Ratu Safiatuddin juga melakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan hidup perempuan di Aceh Darussalam.
Sebagai orang yang mendalami ajaran-ajaran Islam, Ratu Safiatuddin mempunyai tekad yang kuat untuk membuktikan bahwa hak dan kewajiban perempuan dan pria sama.
Hal ini termasuk dalam persoalan politik, ekonomi hingga sosial, kecuali dalam bidang-bidang yang telah ditetapkan kodratnya.
Guru-gurunya, Syekh Nuruddin Ar-raniri dan Teungku Syiah Kuala, yang berturut-turut menjadi tangan kanannya sebagai Qadhi Malikul Adil, selalu memberi ruang dan dukungan kepada Ratu Safiatuddin untuk membuktikan hal tersebut.
Meningkatkan Kedudukan Perempuan Dengan Memberi Ruang untuk Pendidikan yang Sama
Hal pertama yang dilakukan oleh Ratu Safiatuddin untuk meningkatkan kedudukan perempuan di Aceh Darussalam adalah membuat kebijakan agar pusat-pusat pendidikan lebih adil dan terbuka, tidak peduli perempuan ataupun laki-laki.
Ratu Safiatuddin memiliki pandangan bahwa dengan pendidikan kedudukan perempuan akan dapat ditingkatkan dalam berbagai persoalan kehidupan.
Ia menganjurkan para perempuan untuk belajar saat itu, bahkan seringkali mewajibkannya. Ia memang memiliki perhatian khusus terhadap pendidikan.
Membuka Ruang yang Lebih Luas Kepada Perempuan untuk Berkarir
Ratu Safiatuddin juga memberikan ruang dan kesempatan yang lebih luas kepada perempuan untuk berkarir, kesempatan para perempuan saat itu sama dengan laki-laki.
Perempuan diperbolehkan untuk bekerja dalam berbagai bidang, termasuk di berbagai lembaga negara dan badan-badan pemerintahan, tidak kecuali dalam bidang militer.
Divisi Keumala Cahaya yang telah dibentuk oleh Sultan Iskandar Muda sebelumnya sebagai Divisi Pengawal Istana, dilanjutkan terus bahkan disempurnakan oleh Ratu Safiatuddin. Divisi ini berisi prajurit-prajurit perempuan.
Kemudian pasukan Inong Balee yang telah dibentuk pada zaman pemerintahan Sultan Riayat Syah Saidil Mukammil, terus dipelihara dan dibina terus oleh Ratu Safiatuddin.
Bahkan oleh Ratu Safiatuddin, kesempatan untuk bergabung dengan pasukan Inong Balee dibuka lebih luas, bukan lagi hanya untuk para perempuan yang sudah menjadi janda, tetapi terbuka untuk semua perempuan, baik janda, bersuami ataupun gadis.
Meningkatkan Jumlah Partisipasi Perempuan di Majelis Mahkamah Rakyat
Majelis Mahkamah Rakyat adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh Ratu Kamaliah, istri Sultan Iskandar Muda sekaligus ibu dari Ratu Safiatuddin. Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Majelis Mahkamah Rakyat adalah adalah lembaga perwakilan rakyat yang bertugas untuk menuliskan undang-undang atau dalam istilah pada saat itu disebut dengan qanun.
Meskipun anggota-anggotanya tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi anggotanya merupakan perwakilan-perwakilan rakyat dari tiap-tiap mukim yang ada di Aceh Darussalam.
Sejak awal berdirinya lembaga ini, anggota-anggotanya sudah terdiri dari pria dan perempuan, meskipun pada awalnya jumlah anggota perempuan masih sangat terbatas.
Pada saat Ratu Safiatuddin memimpin Kesultanan Aceh Darussalam, sebagai bagian dari usaha penyempurnaan lembaga dan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintah, maka jumlah perempuan yang menjadi anggotanya ditingkatkan.
Dari total 73 orang anggota Majelis Mahkamah Rakyat, 22 orang diantaranya merupakan perempuan.
Keterwakilan perempuan di lembaga tersebut membuat isu-isu untuk memperbaiki nasib perempuan semakin terangkat, maka tidak heran jika Ratu Safiatuddin tidak sulit untuk meluluskan undang-undang untuk memperbaiki nasib dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Aceh saat itu.
Penyediaan Rumah Bagi Anak Perempuan yang Rentan Dalam Pernikahan
Jika dilihat dari pengalaman dan kejadian-kejadian terhadap perempuan dalam hubungan pernikahan saat itu, biasanya perempuan yang telah menikah akan diajak untuk tinggal bersama di rumah sang suami.
Posisi ini dinilai membuat posisi sang istri dalam rumah tangga sangat lemah dan rentan. Jika terjadi terjadi konflik antara suami dan istri dalam rumah tangga, maka sangat rentan kejadian bahwa si istri akan diusir dari rumah sang suami tersebut.
Kondisi ini membuat sang istri harus pulang kembali rumah keluarganya jika mereka masih hidup atau ia akan menjadi gelandangan.
Menurut Ratu Safiatuddin, kedudukan perempuan dalam kehidupan sosial yang demikian, sangat buruk dan merendahkan perempuan, serta dapat menjerumuskan perempuan ke hal-hal yang tidak baik.
Menurut Ratu Safiatuddin, keadaan sosial tersebut harus diperbaiki.
Maka oleh karena itu, Ratu Safiatuddin menginisiasi suatu rencana undang-undang kepada Majelis Mahkamah Rakyat, yang pada dasarnya bertujuan untuk merubah keadaan yang membuat perempuan rentan itu.
Dengan kebijaksanaan Majelis Mahkamah Rakyat yang diketuai oleh Qadhi Malikul Adil, akhirnya rencana undang-undang tersebut disahkan menjadi undang-undang.
Adapun beberapa inti dari kebijakan yang dibuat di dalam undang-undang tersebut adalah :
- Setiap orang tua harus menyediakan sebuah rumah dengan ukuran secukupnya kepada anak perempuan mereka, ketika mereka sudah menjadi istri, rumah itu akan diserahkan menjadi milik anak perempuan tersebut
- Selain rumah, orang tua juga harus memberi barang sepetak sawah, sebidang kebun dan seutas emas kepada anak perempuannya.
- Kemudian juga suami harus membawa sepetak sawah yang dalam istilah Aceh disebut dengan umong peuneuwoe kepada istrinya dan menjadi hak-milik sang istri, serta pakaian dan sejumlah emas yang cukup.
- Suami harus tinggal bersama istri dirumah sang istri.
- Selama mereka masih tetap hidup dengan rukun dan damai, maka segala harta itu, baik rumah, sawah, kebun yang berasal dari kedua pihak akan menjadi milik bersama.
- Semua harta dan kekayaan yang didapatkan ketika mereka sudah menikah akan menjadi milik bersama, artinya menjadi milik suami 50%, dan menjadi milik istri 50%.
- Jika mereka bercerai, maka suami harus pergi dari rumah istrinya, dan harta-harta ia berikan sebelumnya pada saat pernikahan akan tetap menjadi milik sang istri. Kecuali harta yang didapatkan dalam setelah perkawinan atau yang bisa disebut dengan hareuta seuhareukat, yang akan dibagi dua.
- Selama masa iddah setelah perceraian, segala nafkah hidup istri menjadi tanggung jawab bekas suaminya tersebut.
Demikianlah beberapa usaha Ratu Safiatuddin untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam masyarakat.