Ratu Safiatuddin adalah putri bungsu dari Sultan Iskandar Muda dan Ratu Kamaliah. Sebelum menjadi Ratu, ia lebih sering dipanggil dengan nama Putri Safiah.
Putri Safiah lahir pada tahun 1612 masehi. Lahir dari keluarga sultan dan besar di lingkungan istana kesultanan, Putri Safiah memiliki banyak kemewahan.
Ia sudah belajar dari ulama-ulama dan cendikiawan-cendikiawan besar Aceh Darussalam sejak umur 7 tahun, seperti yang dilakukan oleh putra-putri yang besar di lingkungan istana Darud Donya, istana Kesultanan Aceh Darussalam.
Mereka belajar pada ulama-ulama dan cendekiawan-cendekiawan besar seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-raniry, Sri Faqih Zainul Abidin, Syekh Kamaluddin, Syekh Alaiddin Ahad, Syekh Muhyiddin Ali, Syekh Taqiyuddin Hasan, Syekh Saifuddin Abdul Qahhar dan lain-lain.
Sehingga setelah masa remaja, Putri Safiah telah menguasai banyak bahasa dengan baik. Ia menguasai bahasa Arab, bahasa Persia, bahasa Spanyol dan bahasa Urdu.
Disamping itu, saat remaja ia juga telah fasih dengan ilmu-ilmu fiqih dan segala cabangnya termasuk fihud-dauli (hukum tata negara), sejarah, falsafah, tasawuf, bahkan hingga sastra dan lain-lain.
Menikah Dengan Kakak Angkat, Sultan Iskandar Tsani
Salah satu dari putra-putri yang besar di lingkungan istana Darud Donya saat itu adalah Iskandar Tsani, atau yang juga dikenal dengan nama Raja Bungsu.
Raja Bungsu adalah putra dari Sultan dari Kesultanan Pahang yang dibawa Sultan Iskandar Muda ke Aceh Darussalam pada waktu ia melakukan perjalanan ke Perak dengan misi untuk mengusir Portugis dari tanah Melayu.
Ia diangkat menjadi putra oleh Sultan Iskandar Muda dan dibesarkan di lingkungan istana. Ia hanya satu tahun lebih tua dari Putri Safiah.
Karena besar di lingkungan yang sama, dan berguru pada guru-guru di lingkungan istana Aceh Darussalam pada saat yang bersamaan, Raja Bungsu dan Putri Safiah berteman dekat.
Lamban laun, hubungan Raja Bungsu dan Putri Safiah menjadi lebih dekat, menjadi lebih dari sekedar teman.
Meminjam istilah dari Ali Hasjmy dalam bukunya 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Kepemimpinan Ratu, hubungan pertemanan Raja Bungsu dan Putri Safiah berubah menjadi seperti hubungan antara Yusuf dan Zulaikha.
Sultan Iskandar Muda juga menyukai Raja Bungsu, karena ia baik, sopan dan berbudi luhur. Sehingga karena itu, ia kemudian menikahkan putri bungsunya, Putri Safiah, dengan anak angkatnya, Raja Bungsu.
Hingga pada saat Sultan Iskandar Muda akhirnya wafat pada 17 desember 1636, Raja Bungsu diangkat sebagai Sultan dari Kesultanan Aceh Darussalam dengan gelar Sultan Alaidin Mughayat Syah Iskandar Tsani.
Hal ini juga membuat Putri Safiah menjadi ratu kesultanan, walau hanya sebagai istri dari sultan.
Menjadi Ratu Perempuan Pertama dari Kesultanan Aceh Darussalam, Setelah Suaminya Wafat
Kekuasaan dari Sultan Iskandar Tsani tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1641 masehi, ia wafat pada usia 30 tahun. Ia wafat tanpa meninggalkan ahli waris yang menggantikannya.
Kondisi ini memaksa petinggi kerajaan dari Kesultanan Aceh Darussalam harus mencari pengganti sebagai pemimpin tertinggi kerajaan.
Sehingga berkumpulah para petinggi kerajaan di istana Darud Donya bersama dengan Qadhi Malikul Adil, yang saat itu diisi oleh Nuruddin Ar-raniry.
Hasil dari diskusi tersebut memutuskan Putri Safiah yang akan memimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah sang suami, Sultan Iskandar Tsani wafat.
Keputusan ini diambil setelah Nuruddin Ar-raniry mempelajari dan mengumpulkan cukup banyak bukti yang mendukung kepemimpinan dari para perempuan.
Sehingga pada tahun 1641, Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin oleh Putri Safiah, ia diangkat menjadi ratu dengan gelar Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat.
Pengangkatannya menjadi ratu ini tidak menggembirakan bagi Ratu Safiatuddin, karena yang digantikannya adalah adalah suaminya yang sangat ia cintai, ini juga berarti ia harus menjadi janda dalam usia muda, dalam umur 29 tahun.
Ratu Safiatuddin sangat mencintai Sultan Iskandar Tsani, hal ini terbukti ketika dia dilantik menjadi Ratu, hal pertama yang ia lakukan adalah membuat makam yang sangat besar dan mewah bagi suaminya, Sultan Iskandar Tsani, yang kini dikenal dengan nama Kandang, yang berada di sebelah Gunongan.
Ratu Safiatuddin Berhasil Mengembangkan Ilmu Pengetahuan Dengan Pesat di Aceh Darussalam
Pada zaman Ratu Safiatuddin, memang diakui bahwa kekuasaan politik, ekonomi dan militer dari Kesultanan Aceh Darussalam mulai menurun, tidak sekuat pada zaman Sultan Ali Mughayat Syah sampai dengan Sultan Iskandar Muda hingga Sultan Iskandar Tsani.
Tetapi ia berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan seni menjadi lebih kuat dan berkembangan.
Jami Baiturrahman (Universitas Baiturrahman) di Banda Aceh bertambah maju.
Begitu pula pusat-pusat pendidikan (dayah-dayah) di seluruh Aceh Darussalam, bahkan di seluruh daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang berada dalam lingkungan Kerajaan Aceh Darussalam, seperti di Ulakan Sumatera Barat, Yan Kedah, Siak Sri Indrapura dan sebagainya.
Bahkan ulama-ulama atau cendekiawan-cendekiawan yang tidak menyetujui kekuasaan dan politik dari Ratu Safiatuddin, dibiarkan menyebar ke seluruh wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dengan bebas untuk mendirikan pusat-pusat pendidikan.
Salah satunya adalah Syekh Abdul Wahab yang hijrah ke Tiro dan mendirikan Pusat Pendidikan Islam di sana, sehingga ia kemudian menjadi salah satu pusat pendidikan yang terkenal dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Ulama-ulama dan cendikiawan-cendikiawan yang menentang kekuasaan dan kebijakan-kebijakan politiknya ini tidak ditangkap karena kecintaan Ratu Safiatuddin pada ilmu pengetahuan, ia menghargai pertentangan-pertentangan politik karena ia adalah pemimpin terpelajar dan demokratis.
Para penentang-penentang ini akan tetap dibiarkan jika mereka tidak melakukan tindak-pidana yang merupakan sabotase, subversif, pembakaran, pembunuhan dan sebagainya.
Masa kekuasaan Ratu Safiatuddin adalah masa yang paling ranum ilmu pengetahuan di Aceh Darussalam. Banyak kitab-kitab dałam berbagai cabang ilmu pengetahuan dikarang, baik atas permintaan Ratu Safiatuddin atau atas kehendak para ulama-ulama dan cendikiawan-cendikiawan itu sendiri.
Mereka dibiayai untuk melakukan penelitian, menulis kitab-kitab dan mengembangkan ilmu pengetahun.
Salah satu dari kitab yang paling terkenal yang ditulis pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin adalah kitab Hidayatul Iman, karangan Syekh Nuruddin Ar Raniry yang ditulis dałam bahasa Melayu.
Menurut Nuruddin Ar-raniry, kitab ini dikarang atas permintaan Ratu Safiatuddin, seperti yang ia tulis ia pada pembukaan dari kitab tersebut.
Salah seorang ulama besar lain yang juga mendapat dorongan Ratu Safiatuddin untuk mengarang kitab-kitab, adalah Teungku Syiah Kuala.
Salah satu karangan Teungku Syiah Kuala yang dikarang atas permintaan Ratu Safiatuddin, yaitu kitab Miratuth Thullab fi Tashili Ahkam.
Ratu Safiatuddin meminta kitab ini dikarang agar untuk menjadi pedoman bagi para qadhi (hakim) di seluruh wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dalam menjalankan tugasnya.
Ratu Safiatuddin Wafat
Setelah memerintah lebih dari tiga puluh tahun, pada tanggal 23 Oktober 1675, Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah Johan Berdaulat dinyatakan wafat.
Kejayaan ilmu pengetahuan dan kehebatan Ratu Safiatuddin dalam memimpin Kesultanan Aceh Darussalam diakui oleh banyak peneliti dan sejarawan Aceh.
Misalnya adalah Ilyas Sutan Pamenan dalam bukunya yang berjudul Rencong Aceh di Tangan Wanita menyebut Ratu Safiatuddin cukup ulung dalam memperjuangkan nasib rakyatnya.
Sedangkan H.M Zainuddin dalam bukunya yang berjudul Srikandi Aceh menyebut Ratu Safiatuddin sebagai seorang wanita yang menyukai sastra dan kepenulisan.
Kemudian Muhammad Said dalam bukunya yang berjudul Aceh Sepanjang Abad menyebut Ratu Safiatuddin sebagai seorang yang memiliki kebijaksanaan dan kemampuan yang luar biasa.
Namanya kini diabadikan menjadi sebuah taman dengan nama Taman Ratu Safiatuddin di Kota Banda Aceh, Aceh.