Sejak Sultan Iskandar Tsani wafat, Aceh Darussalam berturut-turut dipimpin oleh para perempuan yaitu Ratu Safiatuddin, Ratu Nakiatuddin dan Ratu Zakiatuddin.
Nama terakhir, Ratu Zakiatuddin telah kembali membawa kestabilan politik dan ekonomi bagi Aceh Darussalam yang sempat kacau karena pemberontakan yang terjadi pada saat Ratu Nakiatuddin berkuasa.
Namun sayangnya, pada saat-saat harapan-harapan itu telah kembali, Ratu Zakiatuddin wafat. Wafatnya Ratu Zakiatuddin menimbulkan goncahangan dan dimanfaatkan kembali oleh sekelompok lawan politik dari para ratu untuk kembali beraksi dalam upaya merebut pucuk kekuasaan Aceh Darussalam.
Ratu Kamalat Syah Diangkat Menjadi Pemimpin Aceh Darussalam
Lawan politik dari para ratu ini adalah para uleebalang yang tidak setuju dengan kepemimpinan para perempuan di Aceh Darussalam, mereka memiliki tokoh yang ingin dicalonkan sebagai pemimpin Aceh Darussalam selanjutnya, yaitu Syarif Hasyim, seorang pendatang dari Arab Saudi yang melakukan perjalanan ke Aceh Darussalam.
Syarif Hasyim datang ke Aceh Darussalam bersama rombongannya pada saat masa kepemimpinan Ratu Zakiatuddin, namun pada saat rombongannya memutuskan untuk pulang ke Arab Saudi, Syarif Hasyim dan seorang rekannya, Syarif Ibrahim, diminta untuk menetap di Aceh Darussalam oleh beberapa uleebalang.
Para uleebalang ini adalah opisisi politik para ratu-ratu yang berkuasa sebelumnya yang merupakan kelompok wujuddiyah, yang tidak puas selama pemerintahan para ratu karena ruang bagi mereka ini telah dibatasi oleh Ratu Safiatuddin dan ratu-ratu setelahnya.
Karena ketidaksetujuan kelompok ini terhadap pemerintahan para ratu, penobatan Ratu Kamalat Syah untuk menjadi pemimpin Aceh Darussalam selanjutnya menimbulkan gejolak.
Ia hampir saja dikudeta dari kekuasaannya sebagai pemimpin Aceh Darussalam bahkan di masa-masa awal penobatannya. sebagai ratu. Namun hal urung terjadi karena kekuatan dari Teungku Syiah Kuala yang saat itu masih menjadi Qadhi Malikul Adil, kemudian juga didukung oleh tiga Panglima Sagi yang masih setuju dengan kepemimpinan para ratu.
Ilyas Sutan Pamenan, seorang sejarawan Aceh melukiskan peristiwa pergolakan tersebut sebagai gerakan pemeberontakan internal Aceh Darussalam yang sangat kuat. Menrurutnya pemberontakan ini adalah upaya untuk mengangkat kembali seorang pria sebagai pemimpin Aceh Darussalam.
Sebuah pasukan kuat yang dipimpin oleh empat orang uleebalang datang menyerbu dari pedalaman ke pusat pemerintah Aceh Darussalam dan melakukan pertempuran beberapa hari.
Namun sayangnya, pemberontakan yang dipimpin oleh para uleebalang tersebut masih belum cukup kuat untuk melakukan peperangan yang berlarut-larut, sehingga terpaksalah mereka menyetujui penobatan Raja Kamalat Syah sebagai pemimpin selanjutnya Aceh Darussalam.
Upaya untuk Memulihkan Kembali Kestabilan Politik dan Ekonomi Aceh Darussalam
Meskpun telah berhasil memerintah Kesultanan Aceh selama beberapa tahun, pada saat itu, Ratu Kamalat Syah belum berhasil memulihkan kestabilan politik Aceh Darussalam, sehingga segala pengembangan ekonomi, pendidikan dan lainnya terganggu.
Namun meskipun begitu, di dalam ketidak stabilan tersebut Ratu Kamalat Syah masih dapat memimpin Aceh Darussalam dan berusaha untuk memperbaiki keadaan masyarakat Aceh Darussalam.
Qadhi Malikul Adil Aceh Darussalam saat itu, Teungku Syiah Kuala dan ulama-ulama lainnya terus membantu Ratu Kamalat Syah sepenuhnya untuk melakukan pembangunan di Aceh Darussalam.
Kebijakan-kebijakan politik dalam upaya untuk mengembangkan Aceh Darussalam dijalankan terus oleh Ratu Kamalat Syah, baik dalam bidang pemerintahan, bidang ekonomi maupun dalam hubungan luar negeri.
Hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga dipelihara terus, sementara hubungan dengan Belanda semakin memanas, karena beberapa wilayah kerajaan di seberang Selat Malaka ataupun di pesisir barat dan timur Sumatera telah dikikis perlahan-perlahan oleh V.O.C.
Dalam tahun 1695, Persatuan Dagang Inggris (English East India Company) berkunjung ke Aceh Darussalam dengan tujuan untuk mendirikan kantor dagang.
Kedatangan mereka diterima oleh Ratu Kamalat Syah dengan tangan terbuka dan diperkenankan mendirikan kantornya di Aceh, dengan tujuan untuk mendapat keuntungan bagi Aceh Darussalam saat itu.
Beberapa peraturan dan perjanjian dibuat Ratu Kamalat Syah dengan Persatuan Dagang Inggris tersebut, untuk memberi keuntungan bagi Aceh Darussalam.
Ini menjelaskan bahwa kedaulatan Aceh Darussalam masih utuh saat itu, dan perdagangan dengan pihak luar masih berjalan dengan baik sehingga kekuasaan Ratu Kamalat Syah masih sangat diperhitungkan.
Teungku Syiah Kuala Wafat dan Sang Ratu Turun Tahta
Pada saat Kamalat Syah sedang melaksanakan segala rencana pembangunan Aceh Darussalam yang telah disahkan oleh Majelis Mahkamah Rakyat, tiba-tiba Teungku Syiah Kuala, yang merupakan tangan kanannya meninggal dunia.
Sebagai Qadhi Malikul Adil yang mendukung kekuasaannya, wafatnya Teungku Syiah Kuala menjadi kehilangan yang besar bagi Ratu Kamalat Syah.
Terlebih Qadhi Malikul Adil pengganti Teungku Syiah Kuala tidak cukup kuat untuk menghadapi oposisi yang terus berupaya untuk mengkudeta sang ratu. Bahkan menurut salah satu riwayat bahwa Qadhi Malikul Adil yang baru itu akhirnya berpihak kepada lawan politik Ratu Kamalatuddin.
Menurut Ilyas Sutan Pamenan, bahwa Qadhi Malikul Adil yang telah berpihak dengan golongan para uleebalang hendak menjatuhkan Ratu Kamalat Syah, membuat sebuah skenario dengan para uleebalang tersebut, seakan-akan mereka menerima surat dari Mufti Besar Mekkah, bahwa seorang wanita tidak sah menjadi raja menurut hukum Islam.
Muhammad Said, seorang sejarawah Aceh yang lain, mengatakan surat tersebut kemudian dibicarakan dalam Majelis Mahkamah Rakyat, yang anggota-anggotanya telah banyak diganti dengan orang-orang lawan politik Ratu Kamalat Syah.
Hasil pembicaraan tersebut memutuskan bahwa Ratu Kamalat Syah harus turun tahta, sekaligus menjadi pemimpin perempuan terakhir Kesultanan Aceh Darussalam. Pada hari itu, bertepatan tahun 1699, juga dinobatkan Syarif Hasyim menjadi Sultan Aceh Darussalam selanjutnya dengan gelar Sultan Badrul Alam.
Tujuh tahun setelah dimakzulkan, pada tahun 1706 masehi, Ratu Kamalat Syah wafat dan dimakamkan bersama tiga orang ratu sebelumnya dalam kandang yang terletak dalam istana Darud Donya, satu komplek dengan makam Sultan Iskandar Muda.