Ia dipercaya oleh Kesultanan Aceh Darussalam sebagai ulama penasehat Kesultanan, ia disebut-sebut sebagai sang pembaharu Islam di Aceh Darussalam. Tak hanya itu, ia juga menjadi salah satu ulama yang mempunyai peranan besar dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri.

Biografi Syeikh Nuruddin Ar-Raniri

Syeikh Nuruddin Ar-Raniri lahir sekitar pertengahan kedua abad 16 masehi dengan nama Nur al-Din Muhammad ibn ‘Ali Hasanji ibn Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisy Asy-Syafi’i. Ia biasa dipanggil Ar-Raniri karena lahir di tanah Ranir, sebuah kota pelabuhan tua yang ada di Pantai Gujarat, India.

Berdasarkan silsilah keturunan, sebenarnya Ar-Raniri sendiri berasal dari India keturunan Arab. Namun, Ar-Raniri lebih sering dianggap sebagai keturunan Melayu-Indonesia. Hal ini dikarenakan ibunya adalah seorang keturunan Melayu, sedangkan ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadramaut yang melakukan perpindahan ke Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Sejak kecil, Ar-Raniri sangat patuh mengikuti aturan dan tradisi yang ada dalam keluarganya. Begitu pula dalam bidang pendidikan, ia sangat menjunjung tinggi langkah yang dilakukan keluarganya. Ar-Raniri mengawali perjalanan intelektualnya di tanah Ranir. Mula-mula, ia mempelajari ilmu agama. Hal ini dijadikannya sebagai modal untuk berangkat ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang saat itu menjadi pusat studi agama Islam.

Dari Hadramaut, Ar-Raniri berangkat ke Makkah untuk melakukan ibadah haji. Ia juga pergi ke Madinah untuk mengunjungi makam Nabi Muhammad SAW. Di dua tempat inilah awal mula Ar-Raniri mulai bertemu banyak ulama, guru agama, serta jamaah haji yang sudah lama menetap dan belajar di Arab. Ia juga berkenalan dengan ulama-ulama yang berasal dari Aceh, yang membuatnya mulai mempelajari bahasa Melayu.

Baca Juga : Hamzah Fansuri, Penggerak Peradaban Aceh Darussalam

Setelah merasa cukup, Ar-Raniri memutuskan untuk kembali ke India. Ia ingin memperdalam ilmu agamanya dengan mengikuti jejak sang paman, Muhammad Jilani Ar-Raniri,  juga para ulama Hadhrami lainnya.

Menurut pemahaman orang Hadhrami, mereka yang ingin memperdalam ilmu agama harus datang langsung ke tanah leluhur Hadramaut dan Haramayn. Di sanalah ilmu agama akan semakin diperdalam, sebelum akhirnya dipraktekan langsung di daerah-daerah lain. Dengan tekad yang kuat untuk semakin membekali dirinya sendiri, Ar-Raniri pun menyanggupi untuk melakukan hal tersebut.

Tak berhenti sampai di situ saja, Ar-Raniri juga mulai masuk ke dalam tarekat Rifa’iyyah melalui Syeikh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban Al-Tarimi Al-Hadrami, seorang guru tarekat keturunan Arab Hadramaut. 

Banyak ilmu dan pelajaran yang ia dapatkan sejak berguru dengan Ba Syaiban yang sebelumnya juga belajar tarekat dari ulama-ulama lain seperti Sayyid Umar b.’Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri, Ahmad Ibrahim b. Alan, dan ‘Rahman Al-Khatib Al-Syaib.

Setelah merasa cukup ilmu, Ba Syaiban pun menunjuk Ar-Raniri sebagai Khalifah penggantinya yang bertanggung jawab untuk menyebarkan Rifa’iyyah ke wilayah Melayu-Indonesia. Ia pun mulai menyandang gelar sebagai Syeikh Nuruddin Ar-Raniri.

Perjalanan intelektualnya sebagai Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dimulai di Timur-Tengah dan wilayah anak benua India. Setelah beberapa tahun berkelana, ia mulai merantau ke wilayah Nusantara. Aceh menjadi daerah yang dipilihnya sebagai tempat menetap.

Perjalanan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh

Pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri pernah menginjakkan kakinya di Aceh. Pada saat itu, Aceh memang sedang berkembang pesat dari segi perdagangan, kebudayaan, politik, dan agama Islam.

Sultan Iskandar Muda saat itu ditemani ulama kerajaan bernama Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani. Paham wujudiyyah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri menjadi ajaran resmi yang dianut Kesultanan Aceh Darussalam pada saat itu.

Ajaran ini bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri. Alhasil, ia kurang mendapat simpati dari Sultan Iskandar Muda, bahkan saat itu ia tak mendapat izin memasuki Kesultanan Aceh Darussalam. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri lalu memutuskan untuk pergi dari Aceh Darussalam dan menetap di Pahang.

Namun pada tahun 1937, akibat perubahan suasana dan iklim politik di Kesultanan Aceh Darussalam, ia menginjakkan kakinya kembali ke Aceh.

Saat itu, suasana politik di Aceh sudah berubah total. Ini dikarenakan setahun sebelumnya, pada tahun 1636, Sultan Iskandar Muda wafat. Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani yang sebelumnya menjadi salah satu ulama penasehat Kesulatanan Aceh Darussalam juga telah wafat di tahun 1630.

Kesultanan Aceh Darussalam saat itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani yang merupakan menantu dari Sultan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Tsani yang sebelumnya berasal dari Pahang, langsung memberikan kedudukan istimewa untuk Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di Kesultanan Aceh Darussalam. Ia ditunjuk sebagai mufti besar pengganti Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani, sekaligus Kadi Malik al-Adil dan Syeikh di Masjid Bait al-Rahman. 

Merasa mendapat dukungan dan kepercayaan penuh dari Sultan Iskandar Tsani, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri pun memulai kiprahnya di tanah Aceh Darussalam. 

Syeikh Nuruddin Ar-Raniri saat itu mulai menantang ajaran wujudiyyah dari Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani dan Hamzah Fansuri yang sebelumnya mendominasi Kesultanan Aceh Darussalam. Ajaran ini, menurutnya, telah mengacaukan Islam di wilayah Aceh.

Sultan Iskandar Tsani pun mendukung langkah Syeikh Nuruddin Ar-Raniri. Mulanya, ia diberi kesempatan untuk mengadakan majelis persidangan bersama dengan 40 ulama pendukung ajaran wujudiyyah. Dari sidang tersebut, lahirlah fatwa yang dibuat dirinya dan para ulama istana yang menyebutkan boleh menghukum pengikut paham wujudiyyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan muridnya tersebut.

Baca Juga : Teungku Syiah Kuala, Mufti Besar Aceh Darussalam

Tak berhenti sampai di situ, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri juga mengadakan perdebatan langsung yang digelar di Istana Kesultanan, di hadapan para Sultan, Sultanah, dan warga Aceh. Ia berusaha membantah paham Wujudiyyah yang menurutnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. 

Meski demikian, tetap saja ada yang menolak paham yang disampaikan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri. 

Kepercayaan dan penghormatan Sultan Iskandar Tsani pada Syeikh Nuruddin Ar-Raniri tak berhenti sampai situ saja. Ia  mulai menerima permintaan untuk menulis kitab-kitab agama dalam rangka membantah paham wujudiyyah di Kesultanan Aceh Darussalam.

Salah satu kitab hasil hasil karangannya yang khusus menganalisis ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin as-Sumatrani berjudul Tibyan fi Ma’rifah al-Dyan. Menurut catatan Azyumardi Azra, Ar-Raniry membantah ajaran Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin as-Sumatrani tersebut.

Pemikiran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri tak hanya berhenti tersebar di tanah Aceh, melainkan juga mulai menyebar ke daerah lain di Nusantara bahkan Asia Tenggara. Kitab karangannya tak hanya ilmu fiqih dan akidah, melainkan juga hadist, tafsir, filsafat, sejarah, perbandingan agama, tasawuf, hingga firaq. Jumlah karangannya di tanah Aceh mencapai 23 kitab, yang ditulis dalam bahasa Melayu.

Beberapa kitabnya yang lain yang terkenal berjudul Hujjat al-Siddiq Li daf al-Zindiq dan Jawahir al-’Ulum fi Kasyfi al-Ma’lum. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri berpendapat bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas hakiki, yang mana zat Tuhan tersebut dinyatakan dengan nama-nama suci di Asmaul Husna.

Akhir Perjalanan Intelektual di Aceh Darussalam

Setelah tujuh tahun mendapat dukungan penuh, keadaan tiba-tiba saja berbalik saat Sultan Iskandar Tsani wafat dan digantikan oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin.

Paham yang sebelumnya dipercaya dan disebarkan oleh Hamzah Fansuri kembali bangkit ketika seorang tokoh bernama Saif ar-Rijl kembali menginjak tanah Aceh. Rupanya Saif ar-Rijl adalah pendukung ajaran wujudiyyah yang sempat diusir dalam masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani.

Kedatangan Saif ar-Rijl mendapatkan banyak dukungan dari sebagian besar kalangan Aceh yang tidak percaya dengan pengaruh orang asing seperti Syeikh Nuruddin Ar-Raniri. Polemik terus berlangsung selama satu bulan, hingga akhirnya ia memilih meninggalkan Aceh pada tahun 1644 dan kembali ke tanah Ranir.

Baca Juga : Sultan Iskandar Muda, Pembawa Aceh Darussalam pada Masa Keemasan

Setelah kembali ke Ranir, ia masih terus melanjutkan menulis kitab-kitab agama. Salah satu kitabnya berisi penjelasan mengenai masalah yang dialaminya ketika melakukan dakwah di Aceh.

Hingga akhirnya pada 21 September 1668, ia dinyatakan wafat di tanah kelahirannya sendiri; Ranir.

Sama seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri juga dikenal sebagai penyair dan ulama yang berjasa dalam menyebarluaskan bahasa Melayu di Asia Tenggara lewat kitab-kitab mereka yang ditulis dalam bahasa Melayu. Karya-karyanya telah membuat bahasa Melayu semakin populer dan tersebar luas sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab.