Lahir dari keluarga tokoh pejuang, di dalam tubuhnya mengalir darah perjuangan. Besar pada masa penguasaan Aceh oleh pemerintah kolonial Belanda membuatnya merasakan sendiri penderitaan yang dialami masyarakat Aceh saat itu.
Penderitaan yang ia lihat dan rasakan membuatnya mempunyai semangat untuk membebaskan Aceh dari penjajahan. Ia melakukan berbagai hal untuk membangun pendidikan Aceh sebagai upaya mencerdaskan generasi Aceh untuk masa depan.
Ia adalah Prof. Ali Hasjmy, seorang polyglot dari Aceh. Ia adalah tokoh politik dan perjuangan, sekaligus seorang ulama yang dihormati masyarakat Aceh, seorang sejarawan, juga seorang sastrawan yang terkenal hingga tanah Melayu.
Piatu Sejak Kecil dan Besar Bersama Sang Nenek
Ali Hasjmy lahir dengan nama lengkap Muhammad Ali Ibn Hasjim Ibn Abbas. Ia lahir dari keluarga pejuang Aceh yang melawan Belanda.
Ayahnya bernama Teungku Hasjim dan ibunya bernama Nyak Buleuen. Kedua orang tuanya adalah anak dari panglima perang pada masa perang Aceh melawan Belanda.
Ayahnya, Teungku Hasjim adalah putra dari Pang Abbas, sedangkan Ibunya Nyak Buleun adalah putri dari Pang Husein. Keduanya adalah panglima perang dibawah Teuku Panglima Polem Muda Perkasa.
Pang Husein adalah orang yang diberi bertanggung jawab untuk mempertahankan Cot Glie, benteng terdepan pertahanan Teuku Panglima Polem, ia kemudian wafat bersama seluruh pasukannya pada pertempuran mempertahankan Cot Glie dari Belanda.
Ia lahir di sebuah desa di Kecamatan Montasik, Aceh Besar pada 28 Mei 1914 bertepatan dengan meletusnya perang dunia pertama.
Masa kecil Ali Hasjmy tidak seperti banyak anak pada umumnya. Ibunya wafat ketika Ali Hasjmy masih berusia 4 tahun, ia saat itu sedang mengandung anak keduanya.
Hal ini membuat Ali Hasjmy sudah menjadi piatu sejak kecil dan memaksanya untuk besar bersama sang nenek dari garis keturunan sang ibu, Nyak Puteh. Takdir ini yang sedikit banyak membentuk Ali Hasjmy dari masa kecil.
Nyak Puteh, nenek Ali Hasjmy adalah orang yang terpelajar, ia fasih dalam menulis dan membaca huruf Arab Jawi, serta fasih dalam membaca Al-Quran, ia menjadi guru pertama yang sangat penting bagi Ali Hasjmy.
Keluarganya memegang nilai-nilai Islam yang kental. Neneknya mengajarkan Ali Hasjmy berbagai ilmu termasuk pendidikan Islam.
Seperti kebanyak masyarakat Aceh pada masa tersebut, neneknya mengajarkan Ali Hasjmy melalui pembacaan-pembacaan hikayat yang biasanya dilakukan setelah shalat Maghrib.
Ia biasanya dibacakan berbagai hikayat mengenai agama dan sejarah Aceh seperti “Hikayat Muhammad Aneuk Abdullah”, “Hikayat Sahabat Peut”, “Hikayat Hasan Husein” dan “Hikayat Prang Bada”.
Pendidikan awal ini, menjadi modal yang sangat berharga bagi Ali Hasjmy sebagai fondasi awal untuk menyokong pendidikan selanjutnya.
Masuk Ke Sekolah Rakyat dan Merasakan Diskriminasi Pendidikan oleh Belanda
Pada saat berusia 7 tahun, Ali Hasjmy kemudian masuk ke Sekolah Rakyat yang dalam bahasa Belanda disebut dengan Volkschool di Montasik, Aceh Besar.
Sekolah ini didirikan oleh pemerintah Kolonial Belanda dimana kebanyakan gurunya didatangkan dari Mandailing, Sumatera Utara dan Minangkabau, Sumatera barat.
Menurut Hasjmy, guru-gurunya di sekolah tersebut sangat berjasa dalam mencerdaskan angkatan baru Aceh, dimana rakyat Aceh selama puluhan tahun hidup dalam suasana perang, sehingga tidak banyak anak yang mengecap pendidikan dari masa kecilnya.
Setelah 3 tahun sekolah di Sekolah Rakyat, ia kemudian masuk ke Sekolah Dasar atau dalam bahasa belanda disebut dengan Government Inlandsche School (GIS) yang juga berada di Montasik, Aceh Besar, yang juga didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sekolah di sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda bukanlah hal yang mudah bagi Ali Hasjmy, juga masyarakat Aceh umumnya pada saat itu. Hal ini dikarenakan kampanye anti-Belanda masih sangat sering didengar pada saat itu.
Kampanye ini dilakukan oleh masyarakat Aceh sebagai upaya penolakan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda terhadap Aceh.
Kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintahan kolonial Belanda sudah berakar, sehingga semua hal yang datang dari pemerintah kolonial Belanda, tidak ada akan diterima oleh masyarakat banyak di Aceh, bahkan pendidikan sekalipun.
Banyak masyarakat Aceh saat itu menolak untuk menyekolahkan anak dan keluarga mereka ke sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena takut akan terpengaruh dengan pemikiran barat.
Meskipun pada saat itu, masyarakat mendapat himbauan dari para uleebalang yang sudah menjadi kaki tangan dari pemerintah kolonial Belanda, penolakan masih dilakukan oleh mayoritas masyarakat.
Namun berbeda Nyak Puteh, nenek dari Ali Hasjmy, meskipun sangat membenci pemerintah kolonial Belanda, ia memiliki pandangan yang berbeda untuk urusan pendidikan. Menurutnya pendidikan boleh didapatkan darimana saja.
Pandangan ini yang menjadi dasar yang kuat bagi Ali Hasjmy untuk tetap sekolah di sekolah pemerintah kolonial Belanda dari sejak kecil.
Selepas menyelesaikan pendidikannya di GIS, ayah Ali Hasjmy, Teungku Hasjim berkeinginan supaya Ali Hasjmy melanjutkan pendidikannya di HIS (Holland Islandche School), sekolah pemerintah kolonial Belanda untuk jenjang sekolah menengah pada saat itu.
Namun keinginannya itu tidak berhasil terwujud karena kebijakan dari pemerintah kolonial Belanda yang mensyaratkan hanya putra putri Belanda, pegawai Belanda dan para uleebalang saja yang boleh menempuh pendidikan tersebut.
Diskriminasi pendidikan ini membuat Ali Hasjmy tidak berkesempatan untuk mengeyam pendidikan di sekolah tersebut. Apalagi, Teungku Hasyim sendiri adalah putra dari Pang Abbas, seorang panglima perang dari Aceh dalam melawan kolonial Belanda.
Ini adalah upaya diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda bagi masyarakat Aceh yang tidak berpihak kepada pemerintah kolonial Belanda, juga politik adu domba yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Hal ini memaksa Ali Hasjmy harus melanjutkan pendidikannya di dayah, sebuah lembaga pendidikan tradisional di kampungnya, Montasik, Aceh Besar.
Pada tahun 1928, Ali Hasjmy mulai melanjutkan pendidikannya di madrasah dengan sistem pendidikan yang modern bernama Sekolah Menengah Islam Modern yang dibangun oleh Teungku Muhammad Yunus Reudeup.
Kemudian pada tahun 1930, Ali Hasjmy belajar di Sekolah Menengah Islam Pertama di Seulimum. Di Seulimum, ia juga belajar di dayah, Dayah Keunalo, dayah pimpinan Teungku Abdul Wahab.
Melanjutkan Pendidikan ke Luar Daerah dan Bertemu Tokoh yang Mempengaruhi Semangat Perjuangan Ali Hasjmy
Selepas itu, pada tahun 1932, atas saran dari sang nenek, Ali Hasjmy melanjutkan pendidikannya di Thawalib School di Padang Panjang, di tingkat menengah, yaitu sekolah islam dengan masa belajar tiga tahun.
Thawalib School mempunya dua tingkatan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah.
Madrasah Ibtidaiyah masa belajarnya 4 tahun dan menerima siswa yang telah tamat GIS. Sedangkan Madrasah Tsanawiyah masa belajarnya selama 3 tahun dan yang diterima disini adalah siswa yang telat menyelesaikan Sekolah Dasar dan berhasil lulus tes penerimaan awal.
Ali Hasjmy pun berhasil masuk Madrasah Tsanawiyah tahun pertama dan berhasil lulus pada tahun 1935.
Disana, Ali Hasjmy tidak hanya belajar pelajaran agama, tetapi juga belajar banyak cabang pelajaran umum seperti sejarah, ilmu pendidikan dan lain-lain. Disana ia banyak belajar mengenai semangat kemerdekaan dan pergerakan.
Semangat kemerdekaan dan pergerakan dari sekolah ini telah banyak mempengaruhi Ali Hasjmy, dalam setiap pelajaran yang disampaikan, pendidik di sekolah ini selalu mengaitkannya dengan semangat kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan.
Bahkan kitab belajar yang digunakan disana sebagai bahan ajar adalah kitab-kitab yang mengandung semangat kemerdekaan seperti I’dah al-Nashi’in karya Syekh Mustafa Al-Ghalayaini, seorang pemimpin pergerakan kemerdekaan Syria dan kitab Llmu al-Nafsi, karya Mukhtar Lutfi.
Di Padang Panjang Ali Hasjmy bukan hanya belajar dari pendidikan formal, ia juga belajar semangat pergerakan, kemerdekaan dan sejarah pergerakan dalam dunia islam dari organisasi yang ia ikuti, HPII (Himpunan Pemuda Islam Indonesia).
Disana ia belajar dari tokoh-tokoh besar PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) seperti Muhktar Lutfi, Ilyas Yakub, Duski Samad, Rasuna Said dan Zainal Abidin Ahmad, Rahmad El-Yunusiah dan Hamka.
Pemikiran-pemikiran mereka banyak mempengaruhi pemikiran Ali Hasjmy mengenai semangat kebangsaan dan kemerdekaan.
Pulang untuk Membangun Pendidikan Aceh
Setelah 3 tahun belajar di Padang Panjang, pada tahun 1935, Ali Hasjmy pulang ke Aceh.
Di Aceh ia kemudian menerapkan ilmu-ilmu yang didapatkan di Padang Panjang dengan mengajarkannya di Perguruan Islam Seulimum (PIS) di bawah pimpinan Teungku Abdul Wahab.
Ia mengajar di sana sambil memperbaiki sistem pendidikan yang ada di madrasah tersebut bersama dengan Ibrahim Ali.
Berdasarkan pengalamannya di Padang Panjang, Perguruan Islam Seulimum kemudian dikembangkan menjadi dua tingkat, yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Kurikulumnya juga disusun mirip dengan Madrasah Thawalib di Padang Panjang dan Perguruan Muslim Bukittinggi.
Dengan semangat dan usaha yang sungguh-sungguh tersebut, PIS berhasil menjadi lembaga pendidikan agama yang berkualitas dan menjadi tempat belajar termasyhur yang menjadi tempat belajar berbagai siswa dari berbagai penjuru Aceh saat itu.
Setelah Perguruan Islam Seulimum berkembang dengan baik, pada tahun 1938, Ali Hasjmy bersama Said Abubakar berangkat ke Padang, Sumatera Barat untuk melanjutkan pendidikannya di Al-Jamiah al-Islamiyah, sebuah Perguruan Islam dengan jurusan Sastra dan Sejarah Kebudayaan Islam.
Saat belajar di sana, ia semakin terpengaruh dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan yang disampaikan oleh Mahmud Yunus, Muhktar Luthfi dan para guru lainnya.
Hal ini semakin memperkukuh lagi semangat pembaharuan dalam jiwa Ali Hasjmy untuk membangun dan mengadakan pembaharuan dan pendidikan sebagai bagian daripada gerakan perjuangannya di Aceh.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di sana dan kembali ke Aceh dan dilantik menjadi Guru Kepala.
Ali Hasjmy kemudian mengambil bagian dalam organisasi PUSA, disana ia mendapat dorongan dari Muhammad Yunus untuk mengambil bagian untuk mendorong kemajuan pendidikan melalui PUSA.
Sebagai murid dari jurusan Sastra dan Sejarah Kebudayaan Islam, Ali Hasjmy menggunakan ilmu sastra dan sejarah sebagai pendekatan dalam perjuangan dan pelajaran-pelajarannya. Sambil terus belajar, dia sudah menulis karya-karya sastra sebagai media untuk ia berbagi ilmunya.
Menggunakan dua pendekatan itu, pemikiran dakwahnya dikaitkan dengan sejarah-sejarah dan pemikiran rasional sebagai analisis yang tajam dan mendalam.
Kemudian 10 tahun setelahnya, 1951-1953, ia melanjutkan pendidikan formalnya di Universitas Islam Sumatera Utara, di fakultas Hukum.
Namun sayangnya, ia tidak sempat menyelesaikan pendidikannya karena kesibukannya sebagai pejabat pemerintahan saat itu.
Ditambah lagi keadaan politik saat itu membuatnya dan seluruh tokoh politik Aceh yang saat itu berada di Medan ditangkap oleh pemerintah Indonesia karena dituduh terlibat dalam pemberontakan DI/TII di Aceh yang meletus pada September 1953.
Meskipun tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di universitas tersebut, tetapi rekam jejak pendidikannya telah membuatnya menjadi menguasai banyak ilmu hingga mampu menerima pemikiran pembaharuan dan semangat pergerakan Islam dan pendidikan.
Kesadaran yang miliki tentang pentingnya ilmu pengetahuan yang disokong oleh semangat belajar dan daya baca yang tinggi menjadikan Ali Hasjmy mampu memahami dan menguasai banyak cabang ilmu pengetahuan.