Akhir Hidup Hamzah Fansuri dan Kedatangan Syekh Nuruddin Ar-raniri
Hamzah Fansuri wafat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Ia wafat di Aceh Singkil, di kampung Oboh, di sebuah kita kecil bernama Rundeng, tempat ia juga mendirikan lembaga pendidikannya. Ia dimakamkan di sebuah hulu sungai disana.
Setelah ia wafat, ajaran-ajaran yang ia ajarkan masih menjadi ajaran kepercayaan Kesultanan Aceh Darussalam. Saat itu, salah satu muridnya, Syeikh Syams Al-Din Al-Sumatrani, menjadi penerusnya untuk terus mengajarkan paham-paham yang ia wariskan.
Namun pada tahun 1360, Syeikh Syams Al-Din Al-Sumaterani wafat. Kemudian pada tahun 1636 Sultan Iskandar muda juga wafat, sehingga Sultan Iskandar Tsani menjadi pengganti pemegang kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kemudian setahun setelah Sultan Iskandar Tsani memimpin Kesultanan Aceh Darussalam, ia mengangkat Syekh Nuruddin Ar-raniri, seorang ulama dari Gujarat, India sebagai Qadhi Malikul Adil.
Paham-paham wujudiyah yang diajarkan oleh Syekh Hamzah Fansuri mulai ditentang oleh Syekh Nuruddin Ar-raniri. Ia berpendapat bahwa ajaran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri adalah ajaran yang menyimpang.
Pada saat itu, Syekh Nuruddin Ar-raniri mengumpulkan cendikia-cendikia di sekitar Kesultanan Aceh Darussalam dan membuat fatwa bahwa ajaran yang pernah diajarkan oleh Hamzah Fansuri harus diberantas, pada saat itu banyak pengikut Hamzah Fansuri diusir dari Aceh Darussalam, kemudian karya-karya Hamzah Fansuri juga dibakar.
Kejadian ini yang kemudian disebut sebagai alasan kenapa Hamzah Fansuri tidak tercatat dalam banyak riwayat Kesultanan Aceh Darussalam, salah satunya dalam kitab Bustanus Salatin yang ditulis oleh Syekh Nurrudin Ar-raniri yang berisi tentang sejarah dan panduan untuk para penguasa dan pembesar Kesultanan Aceh Darussalam saat itu.
Tidak adanya Hamzah Fansuri dalam beberapa riwayat Kesultanan Aceh Darussalam dan menghilangnya karya-karya yang pernah ia buat disebut-sebut adalah upaya untuk menghapus Hamzah Fansuri dan ajarannya dari sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Namun meskipun demikian, upaya-upaya tersebut tidak benar-benar menghapus Hamzah Fansuri dan ajaran-ajarannya.
Baca Juga : Ratu Safiatuddin, Pembawa Ilmu Pengetahuan Merekah di Aceh Darussalam
Ajaran-ajaran Hamzah Fansuri masih tetap diikuti oleh pengikut dan murid-murid setianya saat itu. Sampai saat salah satu murid Hamzah Fansuri, Saif ar-Rijl atau Saifurrijal kembali ke tanah Aceh, cendikia-cendikia pengikut Hamzah Fansuri balik menantang Syekh Nuruddin Ar-raniri hingga ia harus kembali ke tanah asalnya Gujarat, India.
Bagaimanapun, Hamzah Fansuri banyak berperan dalam membangun peradaban Islam pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, bukan hanya di wilayah Kesultanan Aceh Darussalam sendiri, tapi juga ke Nusantara hingga semananjung Melayu.
Prof. Dr. Naquib Alatas, dalam sebuah ceramahnya di Darussalam, Banda Aceh pada awal tahun 1970-an menyebut Hamzah Fansuri adalah pujangga Melayu terbesar di abad 17, ia adalah penyair sufi yang tidak ada tandingannya pada zaman itu.
Naquib Alatas juga menyebut Hamzah Fansuri juga pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu. Kitab-kitabnya dan syair-syairnya telah membuat bahasa Melayu menjadi semakin populer dan tersebar luas sebagai bahasa Islam kedua terbesar setelah bahasa Arab.