Aceh Darussalam menjadi salah satu titik awal masuknya Islam ke Indonesia, peradaban Islam pernah berkembang pesat disana. Hal ini ditandai dengan banyaknya intelektual Islam yang lahir dari wilayah Aceh Darussalam pada masa lalu.
Diantara banyaknya tokoh-tokoh intelektual Islam yang muncul di wilayah Aceh Darussalam, salah satunya adalah Syekh Hamzah Fansuri. Ia adalah salah satu tokoh intelektual Islam Melayu paling besar yang pernah ada, sekaligus sebagai pemantik peradaban Islam di Aceh Darussalam dan tanah Melayu.
Biografi Syekh Hamzah Fansuri, Lahir di Keluarga Cendekiawan Islam Pada Masa Kesultanan Aceh Darussalam
Syekh Hamzah Al Fansuri atau Hamzah Fansuri lahir di Barus, sebuah kota pelabuhan yang saat ini secara administratif berada di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, sekitar abad ke-16 dan 17, wilayah ini merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Aceh Darussalam.
Barus adalah kota yang memiliki sejarah panjang. Kota yang berada di pesisir laut ini banyak disebut dalam banyak catatan sejarah, menjadi tempat berlabuh pedagang-pedagang dari India, Arab, Persia maupun Eropa untuk membeli kapas, kamper dan lainnya untuk kemudian dijual ke berbagai negara.
Hamzah Fansuri lahir dari keluarga cendikiawan Islam, ayahnya bernama Al Fansuri, seorang cendekiawan yang disebutkan hidup pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah sedang berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam.
Keluarganya disebut merupakan cendekiawan asal Persia yang pada masa Kesultanan Samudera Pasai, sekitar tahun 1261 -1289, datang ke Aceh untuk menjadi pengajar di lembaga-lembaga pendidikan yang pada saat itu yang disebut dengan “Dayah”.
Baca Juga : Sultan Malikussaleh, Pendiri Kerajaan Aceh Darussalam
Selain Hamzah Fansuri, Syekh Al Fansuri ini memiliki seorang putra lain yang juga merupakan seorang cendekiawan Islam pada saat itu, bernama Ali Al Fansuri. Ali Al Fansuri kemudian memiliki seorang putra bernama Abur Rauf As-Singkili yang kemudian lebih dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala, salah satu ulama paling berpengaruh di Aceh Darussalam.
Keduanya mengabdi dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada masyarakat sekitar. Ali Al Fansuri disebut mendirikan lembaga pendidikan yang dinamai dengan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan, Aceh Singkil. Kemudian Hamzah Al Fansuri sendiri juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Dayah Oboh di Simpang Kiri Rundeng, Aceh Singkil.
Qadhi Malikul Adil Kesultanan Aceh Darussalam
Hamzah Fansuri memiliki posisi penting di Kesultanan Aceh Darussalam. Ia mulai menjadi ulama penasehat kesultanan sekaligus mufti besar atau yang biasa disebut dengan Qadhi Malikul Adil pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah. Tanggung jawabnya ini ia embang sampai dengan masa awal kekuasaan Sultan Iskandar Muda.
Pada saat itu ajarannya mengenai tasawuf berhasil disambut dengan baik oleh masyarakat karena ia mampu dengan baik menganalogikan ajarannya dengan baik menggunakan sentuhan syariat.
Ajarannya yang mendialogkan antara tasawuf dengan budaya setempat telah sukses mencuri perhatian masyarakat dan membuatnya memiliki banyak pengikut dan murid, bahkan hingga diluar wilayah Kesultanan Aceh Darussalam.
Sufi Paling Besar dalam Sejarah Peradaban Melayu
Sebagai seorang ulama tasawuf, Hamzah Fansuri juga merupakan seorang pujangga atau penyair Sufi yang terkenal. Syair-syairnya yang menegaskan spiritual sufistik seorang untuk mendekatkan diri kepada penciptanya, Allah SWT. Ucapan-ucapan cinta tersebut kemudian dituangkan dalam untain syair-syair yang indah .
Syair-syairnya sangat terkenal pada saat itu, bukan hanya di Aceh Darussalam, bahkan di seluruh wilayah di semenanjung Melayu. Syair-syairnya bahkan disebut masih populer berabad-abad sampai dengan awal abad ke 19. Hampir semua orang melayu pada saat itu menghafalkan syair-syair hasil karyanya.
Salah satu syair Hamzah Fansuri yang paling terkenal bagi masyarakat Aceh sampai saat ini adalah Syair Perahu. Syair ini kemudian dinyanyikan oleh Rafly, seorang penyanyi terkenal asal Aceh melalui sebuah lagu dengan judul yang sama. Dalam syair tersebut, ia memberi nasehat kepada pemuda untuk mengenali dan mengendalikan diri sendiri.
Di dalam potongan syair “ialah perahu tamsil tubuhmu”, Hamzah Fansuri mengibaratkan manusia seperti perahu yang harus dikemudikan ke jalan yang benar dengan pedoman-pedoman yang diajarkan dalam Islam.
Baca Juga : Teungku Syiah Kuala, Ulama Paling Besar Aceh Darussalam
Dalam bait syair yang lain, ia mengatakan bahwa alat-alat kayuh dari perahu itu harus diperkuat supaya kemudian bisa digunakan untuk terus perahu tersebut hingga perahu itu melaju dan sampai pada sebuah tempat tujuan akhir yang ia sebut akhirat, tempat kekal hidup manusia.
“Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal hidupmu
Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.
Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu”
Syair-syairnya yang sarat makna tersebut disebut mirip dengan puisi-puisi karya Jalaluddin Rumi, penyair sufi terkenal dari Persia, yang selalu menyampaikan bahwa Tuhan adalah sebagai satu-satunya tujuan. Sehingga ada julukan kepada Hamzah Fansuri bahwa ia adalah Rumi dari Aceh Darussalam ataupun tanah Melayu.