Ali Mughayat Syah Sang Penakluk Pasukan Portugis dari Aceh Darussalam
Semua bermula saat Gaspar da Costa bersama pasukan Portugis pertama kali tiba di Aceh pada tahun 1519. Baru saja menginjakkan kakinya di tanah Aceh, mereka langsung ditangkap oleh pasukan Sultan Ali Mughayat Syah. Penduduk yang berada di sekitar pun turut membantu penyergapan tersebut. Akibatnya, sebagian besar pasukan Portugis terbunuh, sedangkan Gaspar de Costa dijadikan tawanan.
Pada saat itu, mendengar kabar disanderanya sang kapten, Nina Cunapam selaku Laksamana Malaka tak mau tinggal diam. Ia segera melakukan penebusan agar Gaspar de Costa dibebaskan. Namun, hal ini jelas menimbulkan dendam tersendiri bagi pasukan Portugis. Mereka pun merencanakan balas dendam dengan armada perang yang lebih besar dan kuat.
Baca Juga : Teungku Syiah Kuala, Mufti Besar Aceh Darussalam
Tak ingin kecolongan, ia mulai melakukan serangkaian kampanye militer. Bukan tanpa alasan, mengingat ia berambisi untuk menguasai wilayah bagian utara Sumatera.
Daerah yang pertama dipilih adalah Daya, daerah yang belum mengenal Islam yang terletak di sebelah barat laut. Kampanye militer kemudian diperluas sampai ke pantai timur yang terkenal memiliki banyak emas dan rempah-rempah. Ia membangun banyak pelabuhan di daerah-daerah tersebut dalam upaya memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut.
Kampanye militer ini tak dilakukan seorang diri, ia turut menggandeng adiknya yang bernama Panglima Raja Ibrahim. Diketahui, Panglima Raja Ibrahim saat itu dikenal sebagai sosok yang punya nyali besar. Tak heran jika pada akhirnya Panglima Raja Ibrahim dipilih sebagai tangan kanannya.
Tak hanya itu, Panglima Raja Ibrahim juga dipilih sebagai Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan) Kesultanan Aceh Darussalam. Ia mendapat mandat untuk memimpin serangan dalam upaya mengusir Portugis yang mengancam Kesultanan Aceh Darussalam.
Di tahun 1521, Sultan Ali Mughayat Syah kembali memerintahkan Panglima Raja Ibrahim untuk memimpin serangan pada pasukan Portugis. Di bawah pimpinan Jorge de Britto, Portugis kembali menginjak tanah Aceh dengan total pasukan mencapai 200 orang. Seperti janjinya kemarin, Portugis datang kembali dengan membawa armada perang yang lebih besar dan kuat.
Tak ingin tinggal diam, Sultan Ali Mughayat Syah pun membawa 8000 pasukannya untuk turun langsung mengusir pasukan Portugis. Delapan ekor gajah juga ikut diterjunkan untuk membantu serangan tersebut. Dan ya, sama seperti sebelumnya, serangan pasukan Portugis berhasil digagalkan. Bahkan, Jorge de Britto dinyatakan terbunuh dalam pertempuran sengit tersebut.
Bersatunya kekuatan antara Sultan Ali Mughayat Syah dan Panglima Raja Ibrahim terbukti kembali sukses menggagalkan invasi Portugis. Armada laut Jorge de Britto seketika tumbang.
Sisa pasukan Portugis yang masih ada mulai berlari ke arah Pedir. Panglima Raja Ibrahim yang mengetahui hal tersebut langsung memerintahkan pasukannya untuk segera mengejarnya. Di Pedir, mereka bertarung hebat hingga pasukan Portugis kembali melarikan diri.
Daerah Pasai menjadi target persembunyian pasukan Portugis selanjutnya. Namun bagai mata elang, Panglima Raja Ibrahim kembali menemukan mereka. Pasukan Kesultanan Aceh Darussalam kembali menghancurkannya tanpa ampun. Portugis pun lagi-lagi harus menerima kenyataan untuk mundur dari tanah Aceh.
Kemenangan beruntun atas Portugis benar-benar menguntungkan Aceh. Ia mendapatkan barang-barang rampasan dari Portugis berupa peralatan perang seperti meriam, senapan, pedang, dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, benteng yang ada di sisi kanan bendungan Krueng Pasee adalah bukti peninggalannya.
Kerjasama antara Sultan Ali Mughayat Syah dan Panglima Raja Ibrahim memang benar-benar perpaduan yang tepat. Berkali-kali Portugis mencoba masuk, berkali-kali pula mereka berhasil mengusirnya. Sultan Ali Mughayat Syah dan Panglima Raja Ibrahim pun mulai disebut sebagai Penghancur Pasukan Portugis.
Meski demikian, mereka nyatanya memiliki cita-cita yang sangat mulia. Bukan hanya ingin menang, melainkan ingin menghilangkan segala bentuk penjajahan yang mengancam kedaulatan Aceh. Sayangnya, Panglima Raja Ibrahim gugur di medan perang pada tahun 1523. Perjuangannya pun terhenti.
Baca Juga : Bungong Jeumpa dalam Budaya Aceh
Kehilangan tangan kanan yang mana orang yang sangat disayangi tentu jadi duka mendalam bagi Sultan Ali Mughayat Syah. Namun, ia terus berusaha maju meski tak lagi ada Panglima Raja Ibrahim di sampingnya. Ia tak ingin perjuangannya berakhir sampai di sini saja.
Setahun pasca meninggalnya Panglima Raja Ibrahim, Sultan Ali Mughayat Syah memimpin serangan di daerah Aru. Rupanya saat itu Kerajaan Aru ingin melakukan koalisi dengan Portugis. Rencana tersebut langsung gagal karena pasukan Sultan Ali Mughayat Syah sudah lebih dulu mengepung dan menaklukan seluruh kesultanan yang bersekutu dengan Portugis.
Akhir Perjalanan dan Warisan Sang Pemersatu Aceh Darussalam
Tahun 1529, Kesultanan Aceh Darussalam kembali mempersiapkan diri untuk kembali menyerang Portugis. Kali ini daerah Malaka yang jadi target utama Portugis. Sama seperti sebelumnya, Sultan Ali Mughayat Syah kembali memperkuat pertahanan pasukannya. Bedanya, kali ini tak ada lagi Raja Ibrahim yang mendampingi langkah perjuangannya, ia pun maju paling depan untuk memimpin serangan.
Sayangnya, sebelum serangan benar-benar dilakukan, Sultan Ali Mughayat Syah justru lebih dulu wafat. Tepatnya 7 Agustus 1530, ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia kemudian digantikan oleh putranya, Sultan Salahuddin.
Segala perjuangan yang telah dilakukan Sultan Ali Mughayat Syah untuk Kesultanan Aceh Darussalam pun dicatat pada nisan makamnya yang saat ini ada di Kompleks Pemakaman Sultan Aceh Kandang XII, Banda Aceh.
Dalam catatan yang berasal dari abad ke-16 Masehi itu, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah adalah Al-Ghaziy fil Barri wal Bahri. Hal ini dikarenakan ia adalah sosok yang berperang sekaligus penakluk daratan maupun lautan. Catatan ini juga memperjelas kekuatan militer Kesultanan Aceh Darussalam saat ia memimpin.
Baca Juga : Sultan Iskandar Muda, Pembawa Aceh Darussalam pada Masa Keemasan
Sultan Ali Mughayat Syah bukan hanya pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam. Ia adalah sosok pelopor kebangkitan dan pemersatu Aceh Darussalam yang sebenarnya. Semangat serta keberaniannya dalam memperjuangkan Kesultanan Aceh Darussalam ia turunkan kepada para pewarisnya, yang membuat pengaruh Aceh Darussalam benar-benar nyata sejak saat itu.