Teuku Nyak Arif adalah tokoh Aceh yang terkenal berani melakukan kritik terhadap pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Ia kerap memberikan kritik pedas melalui sidang-sidang Volksraad atau Dewan Rakyat. Karena keberaniannya itu, ia diberi julukan sebagai Rencong Aceh di Volksraad.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, ia juga menjadi tokoh yang menginisiasi pembentukan pemerintahan Indonesia di Aceh yang membuatnya menjadi Residen Aceh pertama dalam sejarah.  Gejolak politik yang terjadi di Aceh pada masa awal kemerdekaan Indonesia membuatnya diasingkan ke Takengon dan wafat dalam masa pengasingannya disana.

Kiprah Politik Teuku Nyak Arif di Volksraad

Setelah menyelesaikan pendidikan di OSVIA, Teuku Nyak Arif kembali ke Aceh. Kemudian pada tahun 1920 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagoe XXVI Mukim menggantikan ayahnya. 

Dari tahun 1927 sampai dengan 1931 Teuku Nyak Arif dipilih menjadi anggota Volksraad, Dewan Perwakilan Rakyat pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta).  Ia diusulkan oleh Gubernur Hens, dengan pengangkatan ini, pemerintah Hindia Belanda mengharapkan Teuku Nyak Arif bisa berpihak pada pemerintah Hindia Belanda dan memberikan legitimasi pada pemerintah Hindia Belanda untuk berkuasa di Aceh.

Namun pada perjalanannya, keberpihakan yang diharapkan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak pernah terjadi. Teuku Nyak Arif justru secara aktif dan lantang mengkritik pemerintah kolonial Belanda di Volksraad.

Baca Juga : HOS Tjokroaminoto, Pemimpin Sarekat Islam 

Bahkan pidato Teuku Nyak Arif yang pertama di Volksraad justru mengkritik keras pemerintah kolonial Belanda itu sendiri. Dalam penutupan pidatonya tersebut, ia mengatakan:

Saya sampai pada kesimpulan bahwa peperangan yang berlangsung lebih kurang 60 tahun dengan segala murkanya bagi negeri dan rakyat, merupakan malapetaka dan kehancuran bagi negeri dan rakyat kami. Rakyat menjadi miskin dan melarat. Beban rakyat diperberat, bukan saja dengan pajak tetapi juga dengan menaikkan uang rodi. Tepatlah karikatur dalam majalah ‘SPECTATOR’ yang menggambarkan: ‘saya gulanya dan engkau ampas lebihnya’. VOC menganut dasar pemikiran ‘rakyat yang melarat mudah diperintah’. Seharusnya pemerintah sadar tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik bila rakyat hidup dalam kemelaratan“.

Saya akhiri pidato pertama pengangkatan saya sebagai anggota Volksraad ini dengan mengutip kata-kata mutiara dari ‘GLADSTONE’ yang menyatakan: ‘Tidak ada yang lebih mulia dan lebih suci dari suatu bangsa yang berkuasa untuk menghilangkan kezaliman dan ketidakadilan, dan tidak ada yang lebih hina daripada penindasan terhadap suatu bangsa yang lemah oleh kekuasaan yang lebih besar’“.

Teuku Nyak Arif mengkritik dengan pedas dan tajam praktik kolonialisme yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia yang hanya mau mengambil keuntungan saja, tanpa memperhatikan kehidupan rakyat Indonesia dengan sungguh-sungguh. Sejak saat itu, Teuku Nyak Arif aktif bersuara mengkritik pemerintah Hindia Belanda lewat pidato-pidatonya di Volksraad.

Sebelum “Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928, Teuku  Nyak Arif sudah mengumandangkan nama Indonesia dan berbicara tentang persatuan dan kemerdekaan bangsanya. Pidatonya di Volksraad tanggal 18 Juli 1928 adalah sebagai berikut:

Tuan ketua. Jika kita membicarakan keadaan politik di negeri ini, maka tidak boleh kita menyebutkan ‘Indonesia’. Saya termasuk yang bangga menyebutnya. Memang sesungguhnya pula, terbentuknya suatu Negara Indonesia dalam waktu yang dekat ini, bukanlah suatu impian yang hampa, tetapi suatu kemungkinan yang nyata. Dasar-dasar pembentukannya sudah ada, adalah mungkin sekali dan sangat diharapkan dasar-dasar yang ada itu dikembangkan dalam batas-batas hukum yang ada menuju ke arah kesatuan kebangsaan, salah satu dari syarat-syarat mutlak untuk mencapai staatkundige vrijheid (kemerdekaan negara). Sebelum saya meninggalkan mimbar ini, sekali lagi saya ingin menyarankan kepada bangsaku yang terhormat supaya bekerja sama untuk mewujudkan cita-cita melalui persatuan Indonesia mencapai kemerdekaan nasional“.

Pidato lainnya di Volksraad yang terkenal di Dewan Rakyat adalah ketika ia berdebat dengan Drs. Fruin pada persidangan 17 Juli 1929.

Saya memprotes pendapat yang menyatakan dan menyamakan antara nasionalisme dan komunisme. Cita-cita rakyat akan maju ke tingkat yang lebih tinggi dan maju kalau rakyat itu makin cerdas. Saya mengkritik dan mencela tindakan-tindakan pemerintah yang mendirikan gedung-gedung bagus, sedangkan rakyat kekurangan ruangan untuk sekolah yang baik. Undang-Undang pendidikan di Indonesia lebih rendah daripada jajahan yang lain, di mana Indonesia mendapat undang-undang pendidikan yang jelek. Aturan secara Timur tidak dijalankan bersama-sama dengan pengaruh Barat” ucap Teuku Nyak Arif.

Pidato Teuku Nyak Arif tersebut, disambut dan dijawab dengan sengit oleh Drs. Fruin hingga memunculkan perdebatan yang sengit yang mengakibatkan ketua sidang harus turun tangan untuk melerai. 

Sebuah surat kabar harian terkenal bernama Bintang Timur, pada pemberitaannya di 18 Juli 1929 memuat kabar terkait persidangan tersebut dengan menyebut Teuku Nyak Arif sebagai Rencong Aceh di Volksraad.

Membentuk Fraksi Nasional di Volksraad Bersama M.H. Thamrin dan Kawan-kawan

Pada persidangan Volksraad tanggal 27 Januari 1930, tokoh nasional M.H. Thamrin dalam pidatonya memberitahukan berdirinya sebuah fraksi baru di Volksraad yang bernama “Fraksi Nasional”. 

Fraksi ini bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, mengusahakan perubahan ketatanegaraan dan berusaha menghapus perbedaan politik ekonomi akibat politik adu domba yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.  Teuku Nyak Arif termasuk salah seorang pendiri “Fraksi Nasional” bersama M. Husni Thamrin, R. P. Suroso, M. Soangkupon dan lainnya.

Salah satu kegiatan utama dari fraksi ini adalah pembelaan terhadap pemimpin-pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) yang ditangkap, mereka adalah Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata, dan Maskun Sumadiredja. Sebelum tokoh-tokoh tersebut diadili, Teuku  Nyak Arif sebagai salah seorang pendiri Fraksi Nasional dalam sidang Volksraad 28 Januari 1930 mengemukakan pidatonya untuk membela PNI.

Dalam membicarakan keadaan politik dewasa ini, kita sangat menyesalkan tindakan pemerintah terhadap orang-orang yang tidak ada hubungan sama sekali dengan PNI. Pemerintah sudah kelewatan dalam perbuatannya yang mencampur-adukkan tokoh-tokoh politik dan ambtenaar-ambtenaar yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan politik. Ketika saya berada di Kotaraja (Banda Aceh) saya mendapat khabar seolah-olah di Jawa akan terjadi pemberontakan besar. Tetapi ketika sampai di sini ternyata keadaannya lain sama sekali. Saya tidak percaya bahwa pemimpin-pemimpin PNI akan mengadakan suatu pemberontakan.”

Teuku Nyak Arif sebagai tokoh fraksi nasional dalam sidang Volksraad dengan gigih membela kepentingan PNI yang dituduh oleh pemerintah Hindia Belanda akan mengadakan pemberontakan, dengan tegas Teuku Nyak Arif mengatakan bahwa beliau tidak percaya pemimpin-pemimpin PNI akan mengadakan pemberontakan. 

Kritik-kritik pedas yang dilakukan oleh Teuku Nyak Arif di Volksraad membuat anggota Volksraad Belanda yang bernama Zuyder Hoff juga tokoh dari Politiek Economische Bond (PEB) memberi komentar dan memperingati bahwa Teuku Nyak Arif telah melakukan perlawanan dan menggunakan rencongnya, meski dalam bentuk suara. 

Baca Juga : The Grand Old Man KH Agus Salim

Anggota Volksraad yang lain yaitu Drs. Fruin, yang juga merupakan tokoh PEB khawatir terdapat Nasionalis Sejati yang amat berbahaya di Volksraad dan dapat merusak hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dan penduduk pribumi karena pidato-pidato kritik mereka yang tajam terhadap Hindia Belanda yang dilakukan oleh Teuku Nyak Arif dan kawan-kawan.

Pemerintah Hindia Belanda, akhirnya mengganti kedudukan Teuku Nyak Arif sebagai anggota Volksraad di tahun 1931. Ia diganti oleh Tuanku Mahmud, seorang keluarga kesultanan Aceh Darussalam.  Hal ini dilakukan karena kritik keras kepada Pemerintah Hindia Belanda yang terus menerus dilakukan oleh Teuku Nyak Arif.