Beliau adalah seorang tokoh yang dikenal dalam pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui Sarekat Islam, beliau berhasil menggerakkan jutaan orang yang tersebar di seluruh kepulauan untuk melawan kolonialisme dan memperjuangkan hak kaum buruh dan rakyat pribumi.

Di bawah kepemimpinannya, Sarekat Islam juga berhasil menjadi lembaga pendidikan, koperasi, dan juga solidaritas sosial. Kali ini kita akan membahas H.O.S Tjokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam.

Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Organisasi Sarekat Islam

Nama H.O.S Tjokroaminoto sangat lekat dengan organisasi Sarekat Islam. Beliau memimpin Sarekat Islam sejak tahun 1914 hingga akhir hayatnya di tahun 1934. Saat itu, Sarekat Islam sempat menjadi organisasi yang memiliki massa terbesar dalam sejarah pergerakan nasional.

Hal ini dibuktikan dengan aksinya saat memimpin Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya pada tahun 1918. Beliau menggerakkan masa untuk aksi bela Islam atas hinaan Nabi Muhammad di majalah Djawi Hiswara.

Mulanya, massa Sarekat Islam saat itu hanya berjumlah sekitar 450.000 orang. Namun berkat aksi tersebut, tahun 1919 jumlah anggota Sarekat Islam bertambah menjadi sekitar 2.500.000 orang.

Baca Juga : The Grand Old Man KH Agus Salim

Jumlah anggota ini tersebar hingga ke berbagai daerah di Indonesia, sehingga membuat Tjokroaminoto dijuluki ‘De Ongekroonde van Java’ alias ‘Raja Jawa Tanpa Mahkota’ oleh pemerintah kolonial Belanda. Memang, pengaruhnya yang begitu kuat membuatnya cukup ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda.

Jika flashback ke masa mudanya, Tjokroaminoto bisa dibilang tak memiliki pendidikan formal yang mumpuni. Beliau lulusan dari akademi pamong praja Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) Magelang, yakni sekolah yang direncanakan khusus untuk menghasilkan pegawai pemerintah pribumi.

Sehari-hari Tjokroaminoto banyak belajar secara mandiri mengenai cara memiliki pengaruh yang kuat di kalangan masyarakat. Beliau mengamati keadaan sekitar, lalu mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Rupanya cara tersebut memang berhasil, mengingat banyaknya rakyat yang menilainya sebagai sosok yang berpihak kepada rakyat dan tanah air. Tjokroaminoto mulai dikenal, bahkan dijadikan sosok yang dihormati oleh masyarakat.

Belajar dari Haji Samanhudi Pendiri Sarekat Dagang Islam

Perjalanannya dimulai saat beliau bertemu dengan Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI). Sebelumnya, Sarekat Dagang Islam sudah lebih dulu didirikan pada tahun 1905 di Surakarta. Organisasi ini didirikan dengan tujuan membela kepentingan pedagang pribumi, yang tak lain adalah persaingan perdagangan batik di Solo dengan golongan pedagang dari China.

Tak hanya itu, Sarekat Dagang Islam juga digunakan sebagai bentuk perlawanan penindasan yang masyarakat rasakan. 

Organisasi ini rupanya mudah diterima mengingat isunya sangat dekat dengan permasalahan masyarakat pribumi yang gelisah akan sistem pemerintahan Belanda yang sering semena-mena. Rakyat mulai merasa terbantu dengan hadirnya Sarekat Dagang Islam. 

Setelah dirasa berhasil dan mulai berpengaruh, Sarekat Dagang Islam pun mulai didirikan di berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Saat itu, Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Dagang Islam di Surabaya pada tahun 1912. Haji Samanhudi sebagai ketua, sedangkan Tjokroaminoto sebagai wakil ketua.

Haji Samanhudi begitu mempercayainya mengingat pemikiran Tjokroaminoto yang sangat memperhatikan kepentingan pribumi. Baginya Haji Samanhudi, Tjokroaminoto adalah sosok yang tepat jika sewaktu-waktu harus menggantikannya.

Baca Juga : KH Ahmad Dahlan, Pahlawan dan Pendiri Muhammadiyah

Saat Haji Samanhudi akhirnya meninggal dunia, Tjokroaminoto mengubah nama organisasi tersebut menjadi Sarekat Islam. Sebenarnya, saat itu Tjokroaminoto sedang merasa kecewa dengan hadirnya Budi Utomo yang hanya dikhususkan untuk kalangan priyayi Madura dan Jawa.

Hadirnya Sarekat Islam membuat Tjokroaminoto bertekad agar organisasi tersebut bisa menerima semua kalangan dari berbagai daerah tanpa terkecuali. Tjokroaminoto juga ingin masyarakat lebih sadar akan kepentingan politik dan ekonomi.

Lebih jelasnya, Tjokroaminoto sangat ingin Sarekat Islam menjadi organisasi dengan tujuan membangun persahabatan, persaudaraan, tolong menolong, serta mampu mengembangkan perekonomian rakyat.

Memasuki tahun 1915, Tjokroaminoto menjadi ketua umum Sarekat Islam yang merupakan bentuk gabungan dari Sarekat Islam dari berbagai daerah. Tak perlu menunggu waktu lama, tahun 1916 Sarekat Islam mulai diakui secara nasional oleh pemerintah Hindia Belanda.

Hal ini dikarenakan Tjokroaminoto dengan terang-terangan berani melawan pemerintah Hindia Belanda. Salah satunya saat Tjokroaminoto membuat tulisan untuk Bintang Soerabaja yang berupa kritikan untuk pemerintah Hindia Belanda. Tulisannya laris terjual dan langsung membuat pemerintah Hindia Belanda merasa ketar-ketir.

Tjokroaminoto dan Sarekat Islam pun langsung dikenal sebagai pergerakan melawan kekuasaan Hindia Belanda.

Bukannya takut, adanya hal tersebut justru membuat Sarekat Islam semakin mengganas dan menggila. Sarekat Islam semakin bergerak sebagai organisasi yang mengedepankan nilai kemajuan perdagangan, tolong menolong, pendidikan budi pekerti, serta menuntut kehidupan masyarakat dengan dasar ajaran agama Islam.

Tjokroaminoto juga membentuk beberapa kongres yang menekankan cita-cita Sarekat Islam yang sejalan dengan semangat nasionalisme.

H.O.S Tjokroaminoto, Guru dari Para Pendiri Bangsa

Bertambahnya tahun, Tjokroaminoto pun mengubah organisasi tersebut menjadi partai politik. Tjokroaminoto menjadi Dewan Rakyat atau Volksraad dari partai yang dikenal dengan sebutan PSI. Tjokroaminoto juga mengajukan tuntutan agar membentuk parlemen yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dan untuk rakyat.

Belanda jelas semakin khawatir dengan usulan Tjokroaminoto, sehingga tanpa pikir panjang langsung menjebloskan Tjokroaminoto ke dalam penjara. Kali ini, Tjokroaminoto tak bisa berkutik.

Saat akhirnya bebas dari penjara, Tjokroaminoto tak mau lagi jika harus bergabung di Dewan Rakyat. Beliau tak mau bekerja sama lagi dengan Belanda. Sebagai gantinya, Tjokroaminoto memilih untuk memperjuangkan kemerdekaan dengan cara membuat tulisan-tulisan yang bisa dimuat di media massa.

Tak hanya itu, Tjokroaminoto juga menjadi guru dari para pemimpin besar di Indonesia.

Saat itu, sebagian rumahnya dijadikan rumah kost para pemimpin yang sedang menimba ilmu padanya. Tercatat nama Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso, Ananda Hirdan, Imran Halomoan, Kartoseowirjo, dan Fajri Hamonangan adalah beberapa orang yang pernah berguru padanya.

Tak hanya itu, tokoh besar lain seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur juga sering bertukar pikiran dan pendapat di rumah tersebut. 

Bisa dibilang, Soekarno adalah salah satu murid yang sangat disukai Tjokroaminoto. Soekarno yang saat itu baru berusia 15 tahun, harus ‘mondok’ karena sedang melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS).

Soekarno pun banyak belajar pada Tjokroaminoto, tak terkecuali mengenai masalah politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat.

Baca Juga : Teungku Syiah Kuala, Mufti Besar Aceh Darussalam

Soekarno juga belajar cara mengorganisasikan massa, serta pentingnya menulis kritikan di media massa. Soekarno bahkan sesekali menggantikan Tjokroaminoto menulis di Oetoesan Hindia, dengan nama samaran Bima.

Tak hanya itu, gaya pidato Tjokroaminoto pun juga sering ditiru oleh Soekarno. Memang, harus diakui Soekarno sangat mengidolakan Tjokroaminoto saat itu.

Sangat disayangkan karena Tjokroaminoto tak sempat ikut merasakan kemerdekaan Indonesia karena beliau meninggal di tahun 1934. Meski demikian, namanya meninggalkan jejak yang kuat dalam sejarah pergerakan nasional di Indonesia.

Perjuangannya sebagai pendiri dan pemimpin Sarekat Islam membuatnya berhasil menggerakan jutaan orang untuk melawan bengisnya penjajahan Belanda. H.O.S Tjokroaminoto, sebuah nama yang akan selalu dikenang dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.