Perjalanan Ratu Nakiatuddin menjadi sultanah Aceh Darussalam tidak berlangsung lama, ia wafat setelah memerintah Aceh Darussalam selama kurang lebih 2 tahun.
Setelah Ratu Nakiatuddin wafat pada tanggal 23 Januari 1678 masehi, Ratu Zakiatuddin dinobatkan sebagai Ratu selanjutnya kesultanan Aceh Darussalam, sekaligus Ratu ketiga dalam yang memerintah dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Seperti Ratu Safiatuddin yang telah mempersiapkan Ratu Nakiatuddin sebagai penggantinya, Ratu Nakiatuddin sendiri juga telah mempersiapkan Ratu Zakiatuddin sebagai penggantinya sebelum ia wafat.
Ratu Zakiatuddin diangkat sebagai sultanah dari Kesultanan Aceh Darussalam dengan gelar Sultanah Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah.
Sama seperti Ratu Nakiatuddin, Ratu Zakiatuddin adalah putri bangsawan yang besar di istana dan dididik oleh Ratu Safiatuddin sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam.
Jadi pengangkatan Ratu Zakiatuddin untuk memimpin Aceh Darussalam tidak muncul begitu saja, sejak awal pada saat Ratu Safiatuddin berkuasa, ia telah mempersiapkan 3 orang yang akan berkuasa selanjutnya jika ia mangkat, yaitu Ratu Nakiatuddin, Ratu Zakiatuddin, dan Ratu Kamalatuddin.
Mereka sudah dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk menunjang kepemimpinannya, diantaranya hukum tatanegara, sejarah, filsafat, kesusasteraan, pengetahuan agama Islam, bahasa Arab, bahasa Persia dan bahasa Spanyol.
Karena itu, pengangkatan sultanah-sultanah setelah Ratu Safiatuddin hampir tidak pernah ada kendala, arena mereka sudah dipersiapkan dengan ilmu dan pengetahuan yang cukup untuk memimpin Aceh Darrusalam sejak Ratu Safiatuddin berkuasa.
Satu kelebihan lain adalah saat itu Teungku Syiah Kuala masih tetap menjadi Qadhi Malikul Adil, ia selalu menjadi tangan kanan para sultanah tersebut untuk berbagai hal.
Menolak Tegas Keberadaan V.O.C. di Aceh Darussalam
Kebijakan-kebijakan politik yang sudah matang dibuat oleh Ratu Safiatuddin dan Ratu Nakiatuddin dilanjutkan kembali oleh Ratu Zakiatuddin.
Ia menindak keras dan tegas para pemberontak yang berusaha untuk mengacaukan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam. Sehingga pada saat ia memerintah, para pemberontak ini tidak memiliki banyak kesempatan untuk melakukan sabotase-sabotase untuk mengacaukan pemerintahan seperti yang terjadi pada masa pemerintah Ratu Nakiatuddin.
Ratu Zakiatuddin bertindak tegas kepada Kongsi Perdagangan Belanda (V.O.C.) yang semenjak pemerintahan Ratu Safiatuddin terus menerus berupaya mencuri kedaulatan Aceh Darussalam, ia sama sekali tidak memberi ruang gerak, bahkan tidak memberikan ruang untuk berdiskusi dengan mereka.
Di Sumatera Barat, Ratu Zakiatuddin langsung menunjukkan kekuasaan Aceh Darussalam kepada V.O.C. dengan melakukan penarikan kembali daerah Bayang ke dalam wilayah Kesultanan Aceh Darussalam.
Sikap tegas dari Ratu Zakiatuddin saat itu mendapat sambutan baik dari masyakarakat Minangkabau, sehingga membuat V.O.C kesulitan untuk menguasai Padang hingga membuat Melchior Hurt, wakil Persatuan Dagang Belanda (V.O.C.) di Padang, merasa semakin kesulitan di Padang.
Selama kurang lebih dua tahun V.O.C. harus melakukan peperangan yang dahsyat semenjak Ratu Zakiatuddin memerintah.
Dalam peperangan itu, Ratu Zakiatuddin usaha untuk mematahkan kekuatan V.O.V itu untuk kepentingan dan keselamatan rakyatnya.
Ia kemudian juga menjalin kerjasama dengan semua kerajaan-kerajaan tetangga. Berkat kerjasama yang kuat dengan berbagai kerajaan-kerajaan lain, Aceh Darussalam berhasil melumpuhkan kekuasaan Belanda. Saat itu, hanya Kerajaan Siam yang gagal digait dalam perjanjian kerjasama dengan Kesultanan Aceh Darussalam.
Menolak Pendirian Benteng Inggris di Aceh Darussalam
Pada masa pemerintahan Ratu Zakiatuddin, Aceh Darussalam kedatangan utusan luar negeri dari Inggris, Ord dan Cawley, dari Madras,. Mereka datang dari India di tahun 1684 dengan misi untuk diberi izin untuk diberikan untuk mendirikan kantor dagang bersamaan dengan benteng pertahanan.
Mereka juga mengharapkan akan mendapat bagian dalam perdagangan lada di Aceh Darussalam saat itu.
Ratu Zakaituddin tahu betul apa artinya sebuah benteng bagi bangsa asing di Aceh Darussalam, dengan sangat bijaksana menolak permintaan itu, sambil menyatakan.
Mereka tidak akan diizinkan mendirikan benteng di Aceh karena bisa membahayakan kepentingan Aceh Darussalam. Tetapi mereka diizinkan untuk mendirikan sebuah kantor dagang di pelabukan Aceh.
Karena penolakan untuk mendirikan benteng tersebut, Inggris tidak jadi tinggal di Aceh, mereka kemudian pergi ke Bengkulu.
Salah satu pengunjung Inggris lain juga datang ke Aceh Darussalam para saat Ratu Zakiatuddin memerintah, yaitu William Dampier, seorang penulis, penjelajah dan bajak laut.
Dalam bukunya, ia juga sempat menulis tentang Kesultanan Aceh Darussalam, “This country is governed by a Queen, under whom there are 12 Orang Kayas or Great Lords. They act in the several precincts with great power and authority”.
Ia menyebut negeri yang ia kunjungan tersebut, Aceh Darussalam, dipimpin oleh seorang Ratu, yang dibantu oleh 12 Orang Kaya atau Pangeran Agung. Mereka menjalankan kekuasaannya dalam bidangnya masing-masing dengan hak dan kekuasaan besar”
12 Orang Kaya dan Pangeran Agung yang disebut oleh Dampier tersebut, antara lain adalah Qadhi Malikul Adil, Laksamana, Perdana Menteri, Syahbandar dan sebagainya. Masing Masing menteri berkuasa dan bertanggung jawab di bidangnya masing-masing.
Ratu Zakiatuddin Wafat
Selama memerintah, Ratu Zakiatuddin telah berbuat banyak untuk mempertahankan sisa-sisa kebesaran Aceh Darussalam. Ia keras dalam mempertahankan kedaulatan Aceh Darussalam dari ancaman oleh negara luar seperti Belanda dan Inggris.
Meskipun ia tidak mampu mengembalikan keperkasaan Aceh Darussalam seperti di zaman Sultan Iskandar Muda, namun ia telah dapat memperbaiki keadaan Aceh Darussalam menjadi lebih baik, yang sebelumnya sempat kacau.
Setelah menjadi ratu dari Kesultanan Aceh Darussalam selama sepuluh tahun, pada 3 Oktober 1688 masehi, Ratu Zakiatuddin dinyatakan wafat. Ia kemudian digantikan oleh seorang putri lain, Ratu Kamalatuddin.