Tidak ada catatan sejarah yang cukup jelas yang menceritakan keturunan dari Ratu Nurul Alam Naqiatuddin dan sejarah hidup masa kecilnya. Muhammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad hanya menyebut Ratu Nakiatuddin sebagai seorang putri bangsawan.
Sedangkan M. Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh menyebut Ratu Nakiatuddin sebagai anak angkat dari Ratu Safiatuddin.
Namun juga melihat catatan dari naskah tua yang tersimpan dalam perpustakaan Universitas Kebangsaan di Kuala Lumpur yang disebut oleh Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Kepemimpinan Ratu, Ratu Nakiatuddin, sama dengan Ratu Safiatuddin, Ratu Zakiatuddin dan Ratu Kamalatuddin, diyakini berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Sultan Alaiddin Abdullah Malikul Mubin.
Namun yang pasti, Ratu Nakiatuddin sama dengan Ratu Zakiatuddin dan Ratu Kamalatuddin berasal dari keluarga bangsawan yang besar di lingkungan istana. Ketiga putri tersebut diajarkan oleh Ratu Safiatuddin dan ditetapkan sebagai orang yang akan menggantikannya nanti jika ia wafat.
Ratu Nakiatuddin Menjadi Ratu Kesultanan Aceh Darussalam
Pada saat Ratu Safiatuddin wafat 23 Oktober 1675 M, sebelum upacara pemakamannya, terlebih dahulu dilakukan penobatan penggantinya, yaitu Ratu Nakiatuddin, ia diangkat menjadi Ratu Kesultanan Aceh Darussalam dengan gelar Seri Ratu Nurul Alam Nakiatuddin.
Setelah ia dilantik, Ratu Nakiatuddin kerajaan berkabung selama tujuh hari karena wafatnya Ratu Safiatuddin.
Pengangkatan Ratu Nakiatuddin menjadi ratu yang akan memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya mendapat penolakan dari internal Kesultanan Aceh Darussalam.
Menurut Ali Hasjmy, Ratu Safiatuddin mendapatkan penolakan dari kaum wujudiyah yang saat itu dimanfaatkan oleh golongan-golongan politik tertentu yang ingin mengambil alih Kesultanan Aceh Darussalam.
Sehingga pada masa pemerintahannya, Ratu Nakiatuddin bukan hanya mendapat perlawanan dari Belanda, Portugis dan Inggris, tapi juga dari dalam Kesultanan Aceh Darussalam sendiri.
Melihat upaya-upaya untuk kudeta yang dilakukan oleh golongan yang ingin melengserkan pemerintahannya, Ratu Nakiatuddin atas usulan dari Qadhi Malikul Adil saat itu, Teungku Syiah Kuala dan atas persetujuan Majelis Mahkamah Rakyat melakukan perubahan terhadap undang-undang kerajaan.
Perubahan ini dilakukan dalam upaya untuk memperkuat kedudukannya dan pemerintahnya saat itu. Perubahan yang dilakukan pada Qanun Meukuta Alam adalah mengenai pengangkatan raja atau ratu yang akan memimpin Kesultanan Aceh Darussalam.
Salah satu perubahan dalam qanun tersebut adalah pembentukan Aceh Lhee Sagoe dari Aceh Besar, yang masing-masing dikepalai oleh Panglima Sagoe, yaitu yaitu Sagoe XXII Mukim, Sagoe XXV Mukim dan sagoe XXVI Mukim.
Kemudian, salah satu inti dari perubahan tersebut adalah bahwa hanya Qadhi Malikul Adil dan Aceh Lhee Sagoe yang berhak memberhentikan dan mengangkat raja atau ratu dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Terjadi Sabatose yang Menyebabkan Kebakaran dan Menghanguskan Istana dan Masjid Baiturrahman
Usulan Teungku Syiah Kuala untuk perubahan Qanun Meukuta Alam tersebut berhasil meredakan usaha para pemberontak yang berusaha untuk menjatuhi Ratu Nakiatuddin secara hukum.
Sehingga para pemberontakan yang diperalat oleh golongan politik ini kemudian melakukan gerakan bawah tanah untuk melakukan perlawan terhadap pemerintah Ratu Safiatuddin.
Diantaranya adalah dengan menyebarkan kampanye hitam untuk menjatuhkan Ratu Nakiatuddin, salah satu kampanya yang digaungkan oleh para pemberontak ini adalah pendapat bahwa menurut hukum Islam wanita tidak boleh menjadi seorang pemimpin negara.
Selain itu, para pemberontak wujudiyah ini juga melakukan sabotase dan pelanggaran hukum serta tata tertib.
Pemberontakan dan kampanye-kampanye hitam yang dilakukan oleh para pemberontak ini sangat kuat bahkan setelah setahun Ratu Nakiatuddin berkuasa.
Kuatnya pemberontakan yang dilakukan oleh para pemberontak ini sampai mengakibatkan tragedi yang sangat besar di Kesultanan Aceh Darussalam, yang mengakibatkan Masjid Baiturrahman dan Istana Darud Donya terbakar pada saat itu.
Masjid Baiturrahman dan Istana Darud Donya terbakat habis pada saat itu, setengah dari kota juga ikut terbakar.
Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan golongan pemberontak ini, yang ditunggangi oleh beberapa pejabat politik kesultanan membuat ruang gerak Ratu Nakiatuddin untuk memajukan Aceh Darussalam terhambat.
Ilyas Sutan Pamenan menyebut usaha Ratu Nakiatuddin untuk memajukan perekonomian Aceh Darussalam sangat sulit, karena ia harus menghadapi berbagai cobaan dari internal.
Kebakaran di Aceh yang maha dahsyat tersebut bahkan menggemparkan Malaka pada tahun 1677.
Sabotase dari para pemberontak ini telah melumpuhkan pemerintah Ratu Nakiatuddin dan segala rencana yang ia susun untuk Aceh Darussalam.
Bahkan setelah kejadian kebakaran besar tersebut, Ratu Nakiatuddin terus menghadapi berbagai macam persoalan yang terjadi di internal Kesultanan Aceh Darussalam yang diakibatkan oleh para uleebalang Aceh.
Setelah memerintah selama dua tahun, pada hari Ahad tanggal 1 Dzulkaidah 1088 hijriah (1678 Masehi), Ratu Nakiatuddin wafat.
Ia kemudian digantikan oleh Ratu Zakiatuddin yang kemudian berusaha memperbaiki stabilitas politik yang ditinggalkan oleh Ratu Nakiatuddin.