Teungku Chik di Tiro adalah pahlawan nasional dari Aceh, ia merupakan Wali Nanggroe pertama yang ada di dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. 

Harta benda, kedudukan dan nyawa rela ia korbankan demi tegaknya agama dan bangsa yang dicintainya. Tanpa mengenal rasa takut, tanpa mengenal kata menyerah. Pengorbanannya yang begitu berani mengangkat senjata demi  merebut kemerdekaan dari para penjajah. 

Biografi Teungku Chik Di Tiro

Ia lahir dengan nama asli Muhammad Saman di Cumbok-Lamlo, daerah Tiro pada 1 Januari tahun 1836. Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Abdullah, anak Teungku Syekh Ubaidillah dari kampung Garot negeri Samaindra, Sigli. Ibunya bernama Siti Aisyah, seorang putri dari Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro, anak Leube Polem Tjot Rheum.

Keluarganya adalah keluarga yang sangat menjunjung tinggi agama Islam. Tak heran jika ia tumbuh dan berkembang di lingkungan yang religius. Ilmu agama pun menjadi makanan sehari-harinya. Namun, Muhammad Saman tak hanya ingin mempelajari ilmu agama. Baginya, masih banyak ilmu lain yang harus dipelajari. Ia benar-benar dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu pengetahuan.

Sayangnya, saat itu Aceh Darussalam belum memiliki sekolah dan pendidikan formal lainnya. Sampai saat umurnya menginjak usia 15 tahun, Muhammad Saman hanya menghabiskan waktu belajarnya bersama sang ayah yang waktu itu mengajar bermacam-macam ilmu di Garot.

Namun Muhammad Saman bukan orang yang merasa cepat puas. Ia yang merasa semakin haus akan ilmu pengetahuan, akhirnya memutuskan untuk mulai berguru pada para ulama yang menetap di daerah Tiro. Itulah sebabnya ia mulai dipanggil dengan sebutan Teungku Chik di Tiro.

Baca Juga : Ratu Nakiatuddin dan Pemberontakan Internal Aceh Darussalam

Saat itu, Teungku Chik di Tiro semakin semangat belajar dan mendalami ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Ketika merasa sudah mendapat cukup banyak ilmu, dirinya  pun memutuskan untuk pindah ke Lam Krak, Aceh Besar.

Di Lam Krak, ia menghabiskan waktu selama 2 tahun untuk memperluas wawasan dan pandangannya. Pada siang hari, belajar ilmu agama secara menyeluruh, sedangkan saat malam datang, ia akan bergabung dengan teman-temannya untuk berjuang melawan kolonial Belanda.

Tak berhenti sampai di situ saja, ia juga pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agamanya. Di situlah ia bertemu dengan para pemimpin Islam, yang mulai membuatnya paham bahwa para pemimpin tersebut sedang berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sejak saat itu, Teungku Chik di Tiro mulai menanamkan dalam dirinya untuk berkorban penuh bukan hanya demi agama, namun juga demi bangsa yang dicintainya.

Wali Nanggroe Pertama Kesultanan Aceh Darussalam

Strategisnya wilayah Aceh membawa banyak keuntungan untuk berbagai kepentingan budaya, politik dan ekonomi. Hal ini memancing perhatian dari pihak asing untuk mencoba menancapkan paku kekuasaannya di tanah yang disebut dengan Serambi Mekah ini.

Bangsa asing yang masuk dan melakukan berbagai upaya yang bermaksud untuk menguasai wilayah Aceh Darussalam ini tentu membuat penduduk Aceh melakukan berbagai perlawanan, dari series Risalah Kesultanan Aceh Darussalam bagian Ali Mughayat Syah kita melihat bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh tokoh dan masyarakat Aceh Darussalam mengusir Portugis dari Aceh Darussalam.

Selain Portugis, Belanda juga mulai melabuhkan geladak kapal perangnya di Aceh Darussalam pada tahun 1873. Serangan pertama Belanda berlangsung pada 6 April 1873, yang dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Kohler dengan 3.200 prajurit dan 168 perwira.

Namun, serangan besar Belanda tersebut gagal menaklukkan Aceh Darussalam, bersamaan dengan tewasnya sang pemimpin serangan tersebut, Mayor Jenderal Kohler, setelah tertembak oleh seorang anggota pasukan Aceh Darussalam. Kegagalan ini membuat Belanda merencanakan serangan lanjutan dengan berbagai peningkatan untuk bisa menaklukkan Aceh Darussalam.

Di serangan kedua, Belanda mengangkat Van Swieten sebagai pemimpin perang dengan membawa 6.950 tentara dan 249 perwira. Dilipatgandakannya pasukan membuat serangan balas dendam Belanda berhasil. Kali ini, Belanda sukses menduduki istana dan Masjid Raya Baiturrahman. Sejak saat itulah pemerintah Belanda dengan berbagai siasat politiknya terus berusaha untuk menaklukan Aceh sepenuhnya.

Banyak penduduk Aceh yang masih tersisa pada saat itu, mengungsi ke pedalaman dan merencanakan perlawanan balasan.

Namun tak bisa dipungkiri, semangat para pejuang mulai melemah seiring dengan semakin kuatnya kedudukan Belanda di tanah Aceh. Ditambah lagi ketika Aceh Darussalam kehilangan sang Sultan saat itu. Sultan Mahmud Syah yang meninggal akibat wabah kolera yang sedang melanda dunia pada saat itu.

Kedudukan Sultan Aceh kemudian jatuh ke Sultan Muhammad Daud yang saat itu masih berusia 11 tahun.

Sultan Muhammad Daud masih berusia sangat belia pada saat itu, tentu hal ini membuatnya belum memiliki banyak kemampuan untuk memimpin Aceh Darussalam, secara politik dan ekonomi, apalagi dalam usaha untuk mengusir Belanda yang pada saat itu terus berusaha menguasai Aceh Darussalam.

Baca Juga : Hamzah Fansuri, Penggerak Peradaban Aceh Darussalam

Hal ini membuat nama Teungku Chik Di Tiro muncul untuk memimpin perlawanan Aceh Darussalam. Masyarakat yang masih memiliki semangat juang pun pergi menjumpai dan meminta bantuan dari Teungku Chik di Tiro. Sejak saat itulah muncul nama Teungku Chik di Tiro yang dengan lantangnya maju untuk memimpin perlawanan dan merebut kembali Aceh Darussalam.

Teungku Chik di Tiro secara sah menjadi penanggung jawab serta berkuasa penuh bagi Kesultanan Aceh Darussalam, sebagai Wali Nanggroe pertama untuk Kesultanan Aceh Darussalam dalam sejarah.